Posted by : Unknown Kamis, 13 Desember 2012


BAB I
PENDAHULUAN

Setelah Turki mengadakan pembaharuan Hukum Keluarga, membuat Republik Arab Mesir terbawa untuk mengadakan hal yang sama. Kalau Negara Turki mengadakan pembaharuan Hukum Keluarga dengan adopsi hukum Code Civil Switzerland, maka Republik Arab Mesir memperbaharuinya dengan melakukan reformasi hukum terhadap hukum-hukum fiqih yang telah berlaku. Mesir adalah negara pertama di Arab dan negara kedua setelah Turki mengadakan pembaharuan hukum keluarga. 
Pembaharuan ini sebagai wujud perkembangan zaman dan beranjak dari fiqih konvensional menuju konfigurasi hukum keluarga modern. Terutama penyetaraan dan pengangkatan status wanita dalam perkawinan yang menjadi obyek marjinalisasi. Bukan hanya tentang wanita dalam peerkawinan saja yang dilindungi oleh Undang-undang Dasar Republik Arab Mesir, bahkan lebih luas UU tersebut mengatur kebebasan rakyatnya dalam menganut Agama dan menjalani ajaran Agamanya itu. Diatur pula disana kebebasan beraspirasi dan mempropagandakan aspirasinya tanpa takut terancam hukuman. Proses pembaharuan Undang-undang Keluarga Mesir pun bertahap.
Dimulai pada tahun 1920 lahir UU No. 25 tahun 1920 dan UU No. 20 tahun 1929,  yang kemudian kedua UU ini diperbaharui dengan lahirnya UU yang dikenal dengan Hukum Jihan Sadat yaitu UU No. 44 tahun 1979. UU ini kemudian diperbaharui lagi dalam bentuk Personal Law No. 100 tahun 1985. Secara mendalam pemakalah lebih mengarah pada UU yaang berkaitan tentang perdata yaitu perkawinan. Walaupun pada dasarnya UU Republik Rakyat Mesir jelas merujuk pada ketentuan Agama Islam.
Aljazair sebagai sebuah negara dengan mayoritas muslim tidak mengherankan jika di segala bentuk pelaturan hukumnya berasaskan Islam yang juga diakui sebagai agama resmi dan bahwa perkembangan hukum Islam di Aljazair lebih banyak berkisar pada Hukum Keluarga.




BAB II
PEMBAHASAN
HUKUM KELUARGA ISLAM DI NEGARA REPUBLIK ARAB MESIR, MAROKO, DAN ALJAZAIR ( PENCATATAN PERKAWINAN, PERSYARATAN  NIKAH, POLIGAMI, WALI,  KETENTUAN PIDANA DALAM UU, CERAI)

I.        REPUBLIK ARAB MESIR

A.     Sekilas Tentang Republik Arab Mesir
Nama resmi negara ini adalah Republik Arab Mesir yang memiliki Undang-Undang Dasar pada tanggal 11 September 1971.Sebagai negara yang pernah diduduki oleh Turki, atau menjadi bagian negara itu. Dalam hukum tentu merujuk pada hukum yang berlaku di Turki masa itu, sebelum akhirnya Turki sendiri merubah UUnya. Sedang Mesir sendiri masih menganut hukum yang diwariskan. Menurut pasal 1 UUD itu negara tersebut adalah suatu negara demokrasi, negara sosialis yang didasarkan pada aliansi kekuasaan rakyat yang berpengaruh. Meskipun sebagai negara sosialis, namun dalam pasal 2 UUDnya dengan tegas dinyatakan bahwa Islam adalah agama negara dan Bahasa Arab adalah bahasa resmi negara.[1] Nilai-nilai agama sangat kental menyertai kehidupan bermasyarakat termasuk dalam bidang Hukum Keluarga, maka wajar bila sebagian besar hukum keluarga negara ini bersumber dari Islam – dalam hal ini Fiqih.
Republik Arab Mesir sebagai Negara Islam yang ada Afrika diperkirakan memiliki penduduk sekitar 61 juta jiwa, adalah mayoritas Muslim Suni, jumlah mereka hampir 90 persen. Agama sangat berperan besar di negara tersebut.[2] Mayoritas penduduk Mesir adalah pengikut mazhab Safi’i dan hanya sebagian kecil terdapat golongan Hanafiyah.[3] Ada beberapa minoritas religius, yang terbesar adalah minoritas Kristen pribumi yang merupakan Gereja Kopti. Pada tahun 1990, perkiraan jumlah penduduk Kopti adalah 3 sampai 7 juta orang, sedangkan pengikut Kristen lainnya mencakup sekitar 350.000 pengikut Gereja Ortodok Yunani, 175.000 Katolik Ritus Latin dan Timur Seria dan 200.000 Protestan. Pada tahun ini juga diperkirakan terdapat sekitar 1.000 orang Yahudi yang tinggal di Mesir. Populasi Yahudi ini menggambarkan satu fragmen komunitas yang berjumlah 80.000 orang. Yahudi yang hidup di Mesir sebelum tahun 1948. Besarnya toleransi keagamaan merupakan ciri budaya Mesir tradisional, dan kebebasan beragama dijamin oleh Konstitusi Mesir 1971, meskipun ketegangan antar agama sempat meningkat tajam sejak tahun 1970-an.
B.     Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang
Pengaruh pembaharuan Hukum Keluarga di Turki pada tahun 1917 terhadap Republik Arab Mesir dimulai pada tahun 1920 dengan lahirnya Undang-Undang Keluarga Mesir, yaitu Law No. 25 tahun 1920 dan Law No. 20 tahun 1929. Kalau sedikit di-tafshil-kan, usaha pembaharuan ini dimulai dnegan mengangkat panitia pada tahun 1915 yang dipimpin oleh Rektor Al-Azhar, Syekh al-Maragi. Namun, dengan meletusnya Perang Dunia I telah menghambat kelangsungan usaha pembaharuan ini, yang kemudian diikuti oleh pengangkatan panitia berikutnya. Adapun hasil dari kepanitiaan tersebut adalah dengan lahirnya;
1.       UU No. 25 tahun 1920 tentang Nafkah dan Perceraian,
2.       UU No. 56 tahun 1923 tentang Umur Perkawinan,
3.       UU No. 25 tahun 1929 tentang Perceraian,
4.       UU No. 77 tahun 1943 tentang Waris, dan
5.       UU No. 71 tahun 1946 tentang Wasiat.
Dengan demikian maka Mesir adalah negara kedua setelah Turki dan negara pertama di Arab yang mengadakan pembaharuan Hukum Keluarga. Isi pokok dari UU No. 56 tahun 1923 dan UU No. 25 tahun 1920 terfokus kepada bidang perceraian. Kedua UU ini kemudian diperbaharui pada tahun 1979 dengan lahirnya UU yang dikenal dengan Hukum Jihan Sadat No. 44 tahun 1979. UU ini pun diperbaharui lagi dengan bentuk Personal Status (Amandemen) Law No. 100 tahun 1985.[4]
Meskipun ide-ide Muhammad Abduh, Qasim Amin, Safwat dan pemikir Mesir lainnya tentang teori pembaharuan hukum keluarga di Mesir ditentang habis-habisan, namun pada kenyataannya ide-ide merekalah yang banyak memberikan inspirasi dalam usaha pembaharuan tersebut. Tambahan pula, bahwa Malik Hifni Nasif mengusulkan sepuluh butir pembaharuan hukum yang berhubungan dengan wanita, yang diserahkan kepada Badan Legislatif Mesir tahun 1911. Empat diantaranya adalah pendidikan wanita, poligami, umur nikah, dan masalah kerudung (veil).[5]
Usaha pembaharuan Hukum Kelurga Mesir juga ditopang oleh tuntutan Gerakan Wanita Mesir. Misalnya tuntutan dari The Egyptian Feminist Umon yang berdiri pada tahun 1923, dipimpin oleh Huda Sya’rawi. Kelompok ini mengajukan 32 butir tuntutan kepada Parlemen dan Pemerintah Mesir. Diantara tuntutan itu adalah: (1) Pendidikan kepada Wanita, (2) Pembaharuan Hukum Keluarga, (3) Batas Minimal Perkawinan, (4) Pembatasan Poligami, (5) Pembatasan Hak Cerai Laki-laki.
Menurut N. J. D Anderson seperti dikutip oleh Khoiruddin, isi Pembaharuan Hukum Keluarga Mesir lebih radikal dan lebih luas daripada Hukum Keluarga Turki.[6]
C.     Pencatatan Perkawinan
Aturan pertama yang memuat pencatatan perkawinan tertuang dalam Undang-Undang Mesir tentang Organisasi dan Prosedur Berperkara di Pengadilan tahun 1897 (Egyptian Code of Organization and Prosedure for Syari’ah Court of 1897). Dalam peraturan ini disebutkan bahwa pemberitahuan suatu perkawinan atau perceraian harus dibuktikan dengan catatan (akta). Hal inilah yang kemudian diperluas dengan peraturan perundang-undangan tahun 1909 – 1910, dan diubah tahun 1913 dimana pada pasal 102 disebutkan bahwa perdebatan sekitar perkawinan dan perceraian yang diadukan salah satu pasangan atau orang ketiga tidak akan ditanggapi kecuali ada bukti yang meyakinkan kebenarannya. Hanya saja menurut UU tahun 1897, pembuktian ini boleh atau cukup dengan oral atau lisan yang diketahui secara umum oleh pihak yang berperkara. Sementara menurut peraturan tahun 1911, pembuktian harus dengann catatan resmi pemerintah (official document) atau tulisan tangan dan tanda tangan dari seorang yang sudah meninggal. Dalam peraturan tahun 1931 lebih dipertegas lagi dengan kata-kata harus ada bukti resmi (akta) dari pemerintah (official certificate).

D.     Perjanjian Perkawinan
Perjanjian Perkawinan atau Peminangan di Mesir dilakukan dengan tujuan untuk mengadakan perjanjian saling menguntungkan antara kedua pihak untuk mengadakan pernikahan tanpa ada pembatasan atau pengekangan salah satu pihak untuk membatalkan perjanjian tersebut. Namun demikian jika perjanjian itu batal dan merugikan pihak lain baik secara moral ataupun material, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan perkara ke pengadilan atas kerugian tersebut.[7] Jadi pertunangan bisa dilakukan dan dibatalkan oleh kedua belah pihak dengan ada kesepakatan keduanya sehingga salah satu atau kedua pihak tidak merasa dirugikan. Perjanjian ini pula tidak mengharuskan kepada salah satu atau kedua pihak untuk melakukan perkawinan meskipun mereka sudah tidak saling mencintai lagi.
E.      Pembatasan Usia Perkawinan
Mengenai pembatan usia perkawinan di Mesir, terdapat dalam UU No. 56 tahun 1923 Pasal 1 yang menyatakan bahwa usia minimal perkawinan adalah 16 tahun untuk wanita dan 18 tahun bagi pria pada saat menikah. 
Ada dua hal untuk mengetahui umur seseorang agar sesuai dengan ketentuan UU yaitu: Akte Kelahiran atau berupa surat resmi yang dapat menaksir tanggal kelahiran seseorang, dan sertifikat kesehatan yang memperlihatkan taksiran tanggal atau data kelahiran yang diputuskan oleh Menteri Kesehatan atau Pusat Kesehatan setempat. Jika keduanya atau salah satu pihak calon suami atau istri tidak memenuhi ketentuan umur perkawinan dalam UU tersebut, maka dilarang untuk melakukan pendaftaran perkawinan.
F.      Perceraian
UU Mesir No. 25 tahu 1920 mengenal dua reformasi dalam talak atau cerai, yaitu:
1.       Hak pengadilan untuk menjatuhkan talak dengan alasan gagal memberikan nafkah, dan
2.       Talak jatuh karena alasan adanya penyakit yang membahayakan.
Sementara UU No. 25 tahun 1929 mempunyai reformasi hukum lain, bahwa pengadilan berhak menjatuhkan talak karena: perlakuan yang tidak baik dari suami dan pergi dalam waktu yang lama. Jadi UU tahu 1920 memberdayakan pengadilan dan memperluas difinisi penyakit membahayakan dalam perceraian, sementara UU tahun 1929 memberdayakan pengadilan an sich.
G.     Hak-hak Perempuan dalam Perceraian
UU No. 25 tahun 1929 tentang Perceraian pasal 5, wanita yang dicerai mempunyai hak pembelanjaan dari suami bila talaknya bersifat raj’iah, sedang terhadap ketiga jenis talak dibawah ini, lepas dari tanggungan suami, yakni:
1.       Talak Ketiga
2.       Talak sebelum sempurnanya pernikahan, dan
3.       Talak yang diajukan seorang Istri
Dengan demikian bahwa Mesir dalam menentukan hak-hak wanita dalam perceraian lebih bersumber dari pendapat-pendapat para imam mazdhab.
H.     Poligami
Mesir memperbolehkan praktek poligami dengan adanya kesempatan isteri untuk mengajukan gugat cerai karena poligami tersebut sebagaimana diatur dalam UU No. 100 tahun 1985. Dalam materi UU tersebut ditentukan bahwa poligami dapat menjadi alasan perceraian bahwa poligami dapat menjadi alasan perceraian bagi isteri dengan alasan, poligami mengakibatkan kesusahan ekonomi, baik dicantumkan dalam taklik talak maupun tidak. Bila suami berencana poligami harus seizin pihak pengadilan dan pengadilan harus memberitahukan kepada isterinya tentang rencana poligami tersebut. Dalam pasal 11A  UU No. 100 tahun 1985 dinyatakan:
“seorang yang akan menikah harus menjelaskan status perkawinannya pada formulir pencatatan perkawinan. Bagi yang sudah mempunyai isteri harus mencantumkan nama dan alamat isteri-isterinya. Pegawai pencatat harus memberitahukan isterinya tentang rencana perkawinan tersebut. Seorang isteri yang suaminya menikah lagi dengan wanita lain dapat minta cerai atas dasar kemudaratan ekonomi yang diakibatkan oleh poligami, dan mengakibatkan tidak mungkin hidup bersama dengan suaminya secara rukun. Hak cerai dapat berlaku, baik ditetapkan ataupun tidak dalam taklik talak. Jika hakim tidak berhasil mendamaikan, maka perceraianlah yang terjadi. Hak isteri hilang dengan sendirinya kalau ia tidak memintanya dalam selama waktu satu tahun dan dia mengetahui perkawinan dimaksud. Tetapi, hak ini tetap menjadi hak isteri setiap kali suaminya menikah lagi. Seorang isteri yang dinikahi dan tidak mengetahui kalau suaminya telah memiliki isteri, berhak minta cerai segera setelah mengetahuinya.”

Berdasarkan pasal ini maka ada beberapa ketentuan mengenai poligami:
1.       Adanya pemberitahuan kepada isteri oleh pencatat nikah tentang pernikahan suaminya,
2.       Isteri dapat mengajukan gugatan cerai dengan alasan poligami suaminya dalam waktu satu tahun,
3.       Hak cerai gugat isteri gugur setelah satu tahun, dan
4.       Jika sebelumnya isteri tidak mengetahui poligami tersebut maka ia berhak minta cerai setelah mengetahuinya.
Dengan demikian, untuk melaksanakan poligami lebih longgar daripada di Negara Islam lainnya. Walaupun demikian, hukuman terhadap pelanggaran ketentuan poligami termasuk tindak pidana.
I.        Kawin Beda Kewarganegaraan
Hal Kawin Campur terdapat dalam Law No. 68 tahun 1947 yang diamandemen oleh Law No. 103 tahun 1976 yang memindahkan pasal 2, 5, 6, 9 dan 12 kepada peraturan baru. Dalam pasal 5 dikatakan bahwa notaris, sebelum mencatat perkawinan harus memperjelas identitas kedua mempelai. Jika terdapat perkawinan antara wanita Mesir dengan pria non Mesir, maka Dinas Perkawinan harus memastikan hal-hal berikut:
1.       Kehadiran mempelai pria saat akad.
2.       Perbedaan umur antara keduanya tidak lebih dari 25 tahun.
3.       Pihak pria harus menyertakan dua buah setifikat dari negara asal atau kedutaannya. Pertama menyatakan bahwa negara asal tidak melarang pernikahan itu dan kedua menggambarkan identitasnya meliputi Tempat dan Tanggal Lahir, agama, pekerjaan, tempat di negara asal, status perkawinan, jumlah isteri dan anak, sirkulasi keuangan dan sumber penghasilan. Kedua sertifikat itu harus ditandatangani oleh pihak pemerintahan Mesir.
4.       Kedua mempelai harus mempunyai Akta Kelahiran atau surat resmi lain yang menunjukkan tanggal lahir.
Dalam hal ini maka jelas Hukum Keluarga Mesir menitikberatkan pada legalitas pihak asing memperbolehkan untuk menikahi warganegaranya, tanpa ada persyaratan yang memberatkan.
J.       Ketentuan Pidana dalam UU Perkawinan
Ketentuan Pidana dalam Perkawinan menyangkut pada pelanggaran ketentuan poligami, yakni suami yang melanggar pasal 11A  UU No. 100 tahun 1985  dapat diberikan sanksi hukuman penjara atau denda, atau bahkan kedua-duanya sekaligus. Hal ini diatur dalam pasal 23A UU no. 100 tahun 1985, yaitu: seorang yang menceraikan isterinya, bertentangan dengan aturan yang ada dalam pasal 5A undang-undang ini, dapat dihukum dengan hukuman penjara maksimal enam bulan atau denda 200 pound Mesir atau kedua-duanya. Sama juga dengan orang yang membuat pengakuan palsu. Kepada pegawai pencatat yang lalai atau gagal melakukan tugasnya dapat dihukum dengan hukuman penjara maksimal satu bulan dan dengan hukuman denda maksimal 50 pound Mesir. Pegawai yang bersangkutan dapat dinonaktifkan selama maksimal satu tahun.
K.     Prinsip Kebebasan
Ketentuan kebebasan telah pula diatur, ditransformassikan  kedalam UUD RAM { Republik Rakyat Mesir }, sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 46 yang berbunyi ; “ The state shall guarantee freedom of  belief and freedom to exercise religion ”.
Rumusan ini hampir sama dengan rumusan UUD RI 1945 dalam pasal 29 ayat 2 yang juga menjamin kebebasan beragama untuk beribadah menurut Agama dan Kepercayaannya itu.[8]
Sebagai lanjutan dari ketenntuan kebebassan beragama, maka pada pasal 47 UUD RAM mengatur tentang jaminan Negara terhadap kebesan berpendapat, dan mempropagandakan pendapatnya itu. Sehubungan dengan itu maka kebabasan pers, percetakan, publlikasi, dan berbagai cara informasi lainnya dijamin oleh Negara. Ketentuan ini diatur dalam pasal 48 UUD RAM. Mesir pun mengatur kebebasan berkumpul dan berserikat yang diatur dalam pasal 54 dan 55 UUD RAM.

II.      MAROKO

Saat ini penduduk Maroko berjumlah 33.723.418 jiwa, 99 % adalah muslim penganut sunni Maliki. [9] Maroko adalah negara yang berbentuk kerajaan, dalam bahasa Arab dikenal dengan al-mamlakah al-maghribiah (kerajaan yang di Barat), terkadang juga disebut dengan al maghrib al aqsha (kerajaan yang terjauh di Barat). Dalam Bahasa Inggris disebut dengan Marocco, yang berasal dari bahasa Spanyol Maruecos, bahasa latinnya Morroch, di masa pra modern Arab dikenal dengan Marrakesh. Maroko mencapai kemerdekaannya dari Prancis pada tahun 1956 dengan sistem kerajaan konstitusional yang berada di Barat Laut Afrika.[10]
Sejak awal abad 20, Maroko berada di bawah kekuasaan “perlindungan” Prancis. Pada bulan Agustus 1953, Ahmed Belbachir Haskouri, salah seorang tangan kanan Sultan Muhammad V memproklamirkan Sultan Muhammad V sebagai penguasa Maroko yang sah. Pada Oktober 1955, kelompok Jaish al-Tahrir atau Pasukan Pembebasan yang dibentuk oleh Komite Pembebasan Arab Maghrib melancarkan serangan ke jantung pertahanan dan pemukiman Prancis di kota-kota besar di Maroko. Peristiwa di atas, bersama peristiwa lain di masa itu telah meningkatkan solidaritas di kalangan orang Maroko. Masyarakat Maroko mengenal masa itu sebagai masa revolusi yang digerakkan oleh Raja dan Rakyat atau Taourat al-Malik wa Shaab dan dirayakan setiap tanggal 20 Agustus.[11]
1.       Kedudukan Wali dalam Hukum Keluarga Maroko
Bentuk peraturan hukum keluarga di Maroko dipengaruhi oleh negara yang secara politik telah lama mendominasinya yaitu Spanyol dan Prancis. Diantara pengaruh tersebut adalah adanya kodifikasi hukum keluarga yang dikenal dengan code of Personal Status atau mudawwanah al ahwal al shakhsiyyah yang terjadi pada tahun 1957-1958. Terakhir hukum keluarga di Maroko ditetapkan pada tanggal 3 Februari 2004 yang disebut mudawwanah al ahwal al shakhsiyyah al jadidah fil al maghrib. Undang-Undang ini berisi 400 Pasal, terdapat tambahan 100 pasal dari undang-undang yang ditetapkan pada tahun 1957.
Wali nikah dalam hukum keluarga Maroko dibahas pada beberapa pasal. Pasal 13 menyebutkan bahwa dalam perkawinan harus terpenuhi : kebolehannya seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk menikah, tidak ada kesepakatan untuk menggugurkan mahar, adanya wali ketika ditetapkan, adanya saksi yang adil serta tidak adanya halangan untuk menikah. Pembahasan wali juga terdapat pada Pasal 17 yang mengharuskan adanya surat kuasa bagi pernikahan yang mempergunakan wali sedangkan Pasal 18, seorang wali tidak dapat menikah terhadap seorang perempuan yang menjadi walinya.
Penjelasan kedudukan wali dalam pernikahan disebutkan pada Pasal 24. Perwalian dalam pernikahan menjadi hak perempuan (bukan orang tuanya, kakeknya dst). Seorang perempuan yang sudah mengerti dapat menikahkan dirinya kepada lelaki lain atau ia menyerahkan kepada walinya (Pasal 25). Ketentuan ini telah menghapus kedudukan wali dalam pernikahan, karena akad nikah berada pada kekuasaan mempelai perempuan, kalaupun yang menikahkan adalah walinya, secara hukum harus ditegaskan adanya penyerahan perwalian tersebut kepada orang tuanya (walinya). Ketentuan ini juga menghapuskan kedudukan wali adlol, karena pada dasarnya wali adlol muncul karena adanya hak wali bagi orang tua terhadap anak perempuannya.
Apabila dibandingkan dengan hukum Jordania yang sama memakai mazhab Hanafi dalam masalah wali, tampaknya Maroko cenderung lebih jauh memberikan pemahaman terhadap kewenangan perempuan dalam pernikahan. Maroko mengangap bahwa perwalian bukanlah hak dari orang tuanya, tetapi hak anak perempuan itu sendiri.

2.       Usia dalam Perkawinan
Batas minimal usia boleh kawin di Maroko bagi laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan bagi wanita 15 tahun. Namun demikian disyaratkan ijin wali jika perkawinan dilakukan oleh pihak-pihak di bawah umur 21 tahun sebagai batas umur kedewasaan. Pembatasan umur demikian tidak ditemukan aturannya baik dalam al-qur’an, al-hadits maupun kitab-kitab fiqh. Hanya saja para ulama madzhab sepakat bahwa baligh merupakan salah satu syarat dibolehkannya perkawinan, kecuali dilakukan oleh wali mempelai. Imam Malik menetapkan usia 17 tahun baik bagi laki-laki maupun wanita untuk mengkategorikan baligh, sementara Syafi’I dan Hambali menentukan umur 15 tahun, dan hanya Hanafi ysng membedakan batas umur baligh bagi keduanya, yakni laki-laki 18 tahun, sedangkan bagi wanita 17 tahun. Batasan ini merupakan batas maksimal, sedangkan batas minimal adalah laki-laki 15 tahun, dan perempuan 9 tahun, dengan alas an bagi laki-laki yang sudah mengeluarkan sperma dan wanita yang sudah haid sehingga bisa hamil. Dalam hal ini nampaknya Maroko mengikuti ketentuan umur yang ditetapkan oleh Syafi’I dan Hambali.
3.       Masalah Poligami.
Negara Maroko berbeda dengan Negara Tunisia yang melarang secara mutlak aturan mengenai poligami, pada prinsipnya bermaksud membatasi terjadinya poligami dengan harapan dapat diterapkan prinsip keadilan bagi para istri. Dalam undang-undang keluarga tahun 1958 menegaskan bahwa jika dikhawatirkan ketidakadilan akan terjadi diantara istri-istri, maka poligami tidak diperbolehkan. Namun, tidak ada pasal dalam undang-undang itu yang memberikan otoritas untuk menyelidiki kapasitas atau kemampuan suami untuk berlaku adil dalam poligami. Selain itu undang-undang Maroko juga mengatur masalah poligamiantara lain sebagai berikut :
Pertama, jika seorang laki-laki ingin berpoligami, ia harus menginformasikan kepada calon istri bahwa ia sudah berstatus seorang suami.
Kedua, seorang wanita, pada saat melakukan akad nikah perkawinan, boleh mencantumkan taqlid talaq yang melarang calon suami berpoligami. Jika di langgar maka istri berhak mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan.
Ketiga, walaupun tidak ada pernyataan seorang wanita, seperti di atas, jika perkawinan keduanya menyebabkan istri pertama terluka maka pengadilan bisa membubarkan perkawinan mereka.
4.       Perkawinan Bersyarat
Ayat 38 undang-undang keluarga ( personal law ) 1958 mengatakan bahwa jika sebuah ikatan perkawinan disertai dengan persyaratan yang bertentangan dengan hukum syari’ah atau esensi dari perkawinan, maka perkawinan dapat dianggap sah, persyaratannya-lah yang tidak berlaku. Bukanlah persyaratan yang bertentangan dengan esensi perkawinan jika si istri menyatakan bahwa dia akan bekerja di dunia public. Persyaratan yang dimaksud adalah persyaratan yang menghalalkan Sesutu yang telah dilarang oleh agama misalnya suami mensyaratkan bahwa dengan perkawinannya dengan adik perempuan istrinya atau ibu istrinya boleh ia kawini juga. Atau dengan mengharamkan sesuatu yang halal misalnya istri mensyaratkan perkawinannya, suaminya tidak boleh berjalan dengannya keluar kota atau tidak boleh ‘berkumpul’ dengannya. Dalam hal ini menurut madzhab Maliki, perjalanan dan perkumpulan itu tetap halal, hanya persyaratannya saja yang haram.
5.       Pembubaran Perkawinan oleh Pengadilan
Menurut undang-undang Maroko, seorang istri dapat mengajukan gugat cerai ke pengadilan jika :
1.       Suami gagal menyediakan biaya hidup,
2.       Suami mampunyai penyakit kronis yang menyebabkan istrinya merana.
3.       Suami brlaku kasar ( menyiksa ) istri sehingga tidak memungkinkan lagi untuk melanjutkan kehidupan perkawinan.
4.       Suami gagal memperbaiki hubungan perkawinan setelah waktu empat bulan ketika suami bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya.
5.       Suami meninggalkan istri sedikitnya selama satu tahun tanpa memperdulikan istrinya.
Ketiga ulama madzhab : Maliki, Syafi’i dan Hambali menyetujui poin-poin tersebut sebagai alas an bagi istri menuntut perceraian pada hakim, sementara Hanafi mengatakan, hakim tidak mempunyai hak untuk menjatuhkan talaq kepada wanita, apapun alasannya, kecuali bila suami dari wanita tersebut impotent.
6.       Talaq ( Khulu’ )
Talaq ( Khulu’ ) adalah bentuk perceraian atas persetujuan suami istri dengan tebusan harta atau uang dari pihak istri yang menginginkan perceraian tersebut. Perceraian dengan Khulu ini dilakukan jika perkawinan tidak dapat di pertahankan lagi, dengan syarat perceraian dan jumlah harus atas persetujuan dan kesepakatan suami istri.
Di Maroko, aturan tentang Khulu’ diambil dari madzhab Maliki dengan tekanan pada kebebasan istri pada transaksi tersebut. Imam Malik mengatakan jika istri selama perkawinan tidak merasakan kebahagiaan, bahkan merasa didzalimi, maka istri boleh mnuntut cerai dengan mengembalikan sejumlah mahar yang telah diberikan suami kepadanya. Pada undang-undang Maroko diisyaratkan umur istri mencapai 21 tahun untuk dapat melakukan kesepakatan Khulu’, hal mana yang tidak pernah ditetapkan madzhab Maliki dan juga madzhab-madzhab yang lain. Selain itu, pelaksanaan Khulu’ tidak boleh mengorbankan hak-hak anak.



III.    ALJAZAIR
A.     Sekilas Negara Aljazair
Aljazair yang nama resminya al-Jumhuriyyah al-Jazairah ad-Dimukratiyyah ash-Sha’biyah (Arab) atau Republique Algeriance Democratique et Populaire (Perancis), [12]adalah sebuah negara terkemuka di Afrika Utara (wilayah Maghrib). Negara ini berbatasan dengan Laut Tengah di sebelah utara, Maroko di sebelah barat, Mauritania di barat daya, Mali  dan Burkina Fasoo (Afrika Barat) di sebelah  selatan serta Libya dan Tunisia di sebelah timur. Negara Aljazair berbentuk republik, memiliki dua bahasa resmi  yaitu Arab dan Prancis. Dengan luas wilayah 2.381.741 km2, Aljazair didiami oleh 25.880.000 jiwa penduduk (berdasarkan sensus 1991). Islam sebagai agama resmi negara dianut oleh 99,1 % penduduknya, dan mayoritas bermazhab Maliki, sedang selebihnya mengikuti aliran Ibadi.
Dalam kurun waktu 1830 – 1848, Aljazair beralih dari kekuasaan Turki ke kekuasaan penjajah Perancis yang berlangsung secara bertahap. Tahapan tersebut dimulai pada 5 Juli 1830 ketika Perancis datang menaklukkan Bey Husein, Gubernur di propinsi Oran, meskipun kedatangan Perancis pada awalnya untuk membebaskan para Misinaris Kristen yang ditangkap oleh penguasa Turki. Legitimasi terhadap kolonialisme Perancis ditandai dengan penandatangan suatu kapitulasi yang isi pokoknya adalah jaminan terhadap rakyat Aljazair untuk menjalankan agamanya dan penghargaan atas tradisi rakyat Aljazair, terutama untuk tetap mempergunakan bahasa Arab dan Berber.
Sejak awal penentangan terhadap kolonialisme ini Islam memainkan peran yang menonjol. Hal ini dapat dilihat dari perjuangan para tokoh Muslim lewat organisasi-organisasi sosial menentang Perancis.
Perjuangan umat Islam yang terpatri pada sejarah dan merupakan komponen utama permulaan gerakan nasionalisme Aljazair adalah gerakan kaum al-Ulama al-Muslimin. Asosiasi ini didirikan pada bulan Mei 1931 atas inisiatif sejumlah ulama Aljazair yang banyak dipengaruhi oleh gerakan Muhammad Abduh dan Rasyid Rida di Mesir. Mereka menyebarkan keyakinan bahwa depotisme dari dalam dan penjajahan asing dari luar adalah dua penyakit utama yang diderita umat Islam. Syarat utama kebangkitan umat Islam adalah melenyapkan praktik bid’ah dan menggalang persatuan di kalangan Muslimin. Sebagai hasil usaha yang mengantarkan Aljazair mencapai kemerdekaannya Ben Kadis selalu melontarkan slogannya yang amat populer, yaitu: “Aljazair negara kita, Arab bahasa kita, dan Islam agama kita”.
B.     Sejarah Hukum Keluarga Muslim
Perkembangan hukum Islam dibawah pengaruh Perancis di Aljazair dalam beberapa hal paralel dengan perkembangan hukum Islam dibawah pengaruh Inggris di India, tetapi hasilnya sangat berbeda sekali. Di sebahagian besar wilayah Aljazair qadhi masalah-masalah yang biasanya berada dibawah wewenang mereka. Malahan pemerintahan Perancis memperluas penterapam hukum Islam terhadap adat melampaui apa yang  pernah terjadi pada masa Aljazair dibawah kekuasaan Turki.[13] Peubahan hukum positif jarang sekali terjadi di Aljazair. Hukum positif di negeri tersebut hanya mencakup masalah-masalah yang bertalian dengan perwalian bagi anak-anak, perkawinan dan perceraian.
Pada 4 Februari 1959 (dengan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam dekrit 17 September 1959) yang menetapkan bahwa perkawinan harus dilaksanakan atas persetujuan kedua mempelai, menetapkan batas umur minimum untuk kawin dan mendekritkan bahwa perceraian diputuskan kecuai oleh sebab kematian hanya oleh keputusan pengadilan berdasarkan permintaan suami atau isteri, atau atas permintaan keduanya. Pengadilan banding akhir dilaksanakn melalui Muslim Appel Division dari pengadilan banding di Aljazair.
Hukum Perancis juga merupakan faktor yang ikut menentukan dan mempengaruhi bentuk hukum Islam yang berlaku di Aljazair. Terutama sekali pengaruh dari pandangan-pandangan hukum para hakim Perancis di Aljazair, khususnya  Marcel Movand (meninggal 1932) yang mengepalai komisi penyusunan konsep hukum Islam Aljazair pada tahun 1906 yang hasilnya diterbitkan pada tahun 1916. komisi tersebut mengadakan perubahan-perubahan hukum madzhab Maliki, dan mengambil ajaran-ajaran Madzhab Hanafi apa dirasa lebih sesuai dengan ide-ide modern. Code Morand ini memang tidak pernah menjadi hukum tetapi mempunyai  arti yang sangat penting.
Dengan cara ini hukum Islam yang berlaku di Aljazair telah menjadi sistem hukum yang independen yang disebut: “Droit Musulman Algerien”. Tidak terdapat komperatif studi lainnya yang dilakukan untuk mempelajari perbedaan caranya teori hukum Inggeris dan Perancis mendekati masalah-masalh hukum Islam.
Tiga tahun sebelum proklamasi kemerdekaan, pemerintahan Aljazair megumumkan sebuah hukum yang ringkas yang disebut Marriage Ordinance 1959. tujuan lahirnya undang-undang ini adalah untuk mengatur aspek-aspek tertentu dari perkawinan dan perceraian di kalangan umat Islam. Ordonansi ini memuat 12 ayat yang tujuan utamanya adalah:
1.       Mengatur tata cara pelaksanaan dan registerasi perkawinan.
2.       Meningkatkan usia nikah calon suami maupun isteri.
3.       Mengatur perceraian melalui peradilan dan ketentuan-ketentuan pasca perceraian.
Menindaklanjuti proklamasi kemerdekaan pada buan Juli 1963, Aljazair mempermaklumkan sebuah konstitusi yang menempatkan Islam sebagai agama negara.
Sebagai negara jajahan Perancis, sistem hukum Aljazair terpengaruh oleh sistem hukum Perancis dalam hukum sipil, pidana dan administrasi peradilan. Tetapi hal ini tidak menafikan hukum keluarga bermazdhab Maliki dan Ibadi yang khas lokal. Ketika negara ini dalam masa penajajahan, usaha-usaha priodik mensistemisasi dan mengkodifikasikan bagian-bagian hukum keluarga telah dilakukan dibawah panduan para ahli hukum Islam. Pada tahun 1906 seorang ahli hukum Perancis bernama Marcel Morand diberi wewenang untuk mempersiapkan rancangan hukum Islam, khususnya hukum keluarga sesuai dengan yang berlaku pada perdilan lokal. Draft tersebut dipublikasikan 10 tahun kemudian dibawah titel: “Avant-Project de Code du Droit Musulman Algerien”. Sekalipun secara umum didasarkan pada mazhab Maliki, prinsip-prinsip hukum non-Maliki yang sebagaian besarnya mazdhab Hanafi ikut mewarnai rancangan undang-undang ini, sebab pengikut mazdhab Hanafi menduduki urutan kedua setelah Maliki. Hasil usaha Morand tersebut tidak pernah dijadikan hukum positif lewat legislasi formal hukum, namun dapat dicatat rancangan ini memberi pengaruh pada aplikasi dan administrasi hukum keluarga Islam di Aljazair.
Segera setelah mencapai kemerdekaan Aljazair mengundangkan sebuah hukum untuk mengamandemen ordonansi 1959 dan mencabut ketentuan-ketentuan yang mengatur usia nikah. Di sampng itu, hukum baru tersebut juga mencabut aturan-aturan yang mengharuskan penganut Ibadi mengikuti ordonansi tersebut. Dengan amandemen ini berarti ketentuan hukum yang tetap berlaku setelah tahun 1963 mengikat bagi keseluruhan warga negara.
Setelah diundangkannya kostitusi tahun 1976, tuntutan kodifikasi hukum keluarga dan waris yang komfrehensif semakin meningkat. Untuk tujuan ini, pada  tahun 1980 telah diajukan sebuah rancangan hukum dimaksud kepada Dewan Nasional. Beberapa tahun kemudian, setelah melewati perdebatan dan pertimbangan rancangan tersebut diterima dan ditetapkan pada tahun 1984. Aturan-aturan yang termaktub didalamnya diambil dari beberapa aliran fiqh, rancangan hukum keluarga Aljazair 1916 dan hukum keluarga yang berlaku di negra lain, khususnya Maroko.

C.     Usia Nikah
Pada pasal 7 hukum keluarga 1984 secara tegas ditetapkan usia calon mempelai laki-laki 21 tahun dan calon mempelai permpuan 18 tahun. Usia nikah ini cukup tinggi dibandingkan dengan usia nikah yang terdapat dalam hukum keluarga di negra-negara Islam lain. Tercatat hanya Banglades yang menyamai batas mnimum usia nikah ini.
Dapat diduga ketentuan usia nikah ini murni atas petimbangan yang lebih bersifat sosiologis, sebab ketentuan ini tidak diambil dari pandangan mazdhab Maliki maupun mazdhab selinnya.
D.     Poligami
Hukum keluarga Aljazair membolehkan seorang laki-laki memilki lebih dari seorang isteri dan maksimal empat, dengan syarat: (1) ada dasar yang melatarbelakanginya; (2) dapat memenuhi keadilan; (3) memberitahukan bahwa ia akan berpoligami, baik pada isteri maupun kepada bakal calon isteri. Sementara itu seorang dapat mengajukan aksi hukum melawan suaminya dan meminta cerai apabila perkawinan kedua berlangsung tanpa persetujuannya.
E.      Persetujaun wali, saksi dan mahar
Perkawinan hanya dapat dilaksanakan atas persetujaun kedua belah pihak, dihadiri wali dan dua orang saksi dan harus memberikan sejumlah mahar.
Tidak dijelaskan lebih rinci tentang wali, sehingga tidak pula diketahui bagaimana hukum keluarga Aljazair memandang kedudukan wali mujbir, suatu posisi yang diakui oleh empat imam mazhab. Demikian juga tidak ada penjelasan tentang jumlah mahar, menurut kepantasan, kemampuan suami atau pertimbangan lainnya.

F.      Perkawinan Beda Agama
UU Aljazair secara ekplisit melarang perkawinan seperti ini dan tidak menjelaskan perkawinan laki-laki muslim dengan wanita non muslim. Boleh jadi karena hal ini tidak dilarang, dapat diduga bahwa perkawinan tersebut boleh dilakukan. Atau mungkin hal itu memang absurd, tidak ada sikap konkrit pemerintah.
G.     Perkawinan Beda Kewarganegaraan
Perkawinan antar warga negara Aljazair dengan orang asing diperbolehkan. Pasal 31 yang mengatur ketentuan ini mengatakan bahwa warga negara Aljazair laki-laki atau perempuan boleh menikah dengan orang asing berdasarkan Undang-Undang.
H.     Nafkah
Seorang suami wajib memberi nafkah isteri sesuai dengan kapasitas ekonominya kecuali jika isteri telah mengabaikan kehidupan suami isteri. Suami yang memiliki lebih dari seorang isteri harus berlaku adili dalam pemberian semua bentuk materi. Ketentuan ini tercantum pada pasal 37 Hukum Keluarga Aljazair.
I.        Masa Hamil
Aljazair membatasi masa hamil minimal 6 bulan, sedang batas maksimal adalah 10 bulan. Seorang anak dinasabkan kepada ayahnya, apabila lahir dalam jangka waktu 10 bulan pada kasus putusnya perkawinan, terhitung sejak hari kematian suami atau hari terjadinya perceraian.
J.       Perceraian dan Rujuk
Pasal 49 mengatakan, perceraian hanya dapat terjadi dengan putusan hakim yang didahului usaha damai dan tidak berhasil dalam jangka waktu maksimal tiga bulan.
Sedangkan tentang rujuk, terdapat pada pasal 50 yaitu jika suami ingin kembali pada isteri selama berlangsungnya usaha damai, tidak perlu membuat akad baru. Namun bila ia kembali setelah perceraian, hubungan mereka mesti dikukuhkan dengan akad baru.
K.     Mut’ah (kompensasi)
Bila hakim berkesimpulan bahwa suami telah menyalahgunakan hak talaknya, suami harus memberi uang kompensasi bagi isteri atas derita yang dialamimya. Demikian juga anaknya berhak mendapat uang konpensasi berupa biaya. Adapun jumlah uang pemeliharaan anak dan komponsasi tersebut sesuai dengan kemampuan finansial suami. Hak ini hilang jika isteri kembali menikah atau dianggap bersalah karena tidak bermoral.
L.      Cerai Gugat dan Khulu’
Isteri mempunyai dua jenis hak cerai, yaitu cerai gugat dan khulu’
1.      Cerai Gugat. Isteri dapat mengajukan gugat cerai dengan alasan-alasan:
a.       Suami tidak membeyar nafkah, kecuali ketika pelaksanaan perkawinan isteri sudah mengetahui ketidakmampuan suami.
    1. Kelemahan-kelemahan suami yang menghakangi trealisasinya obtek-obyek perkawinan.
    2. Penolakan suami untuk tinggal bersama isterinya selam lebih dari empat bulan.
    3. Keyakinan suami yang dapat dihukum dengan hilangnya hak-hak perdata selam tidak lebih dari satu tahun.
    4. Ketidakhadiran suami selama lebih dari saatu tahun tanpa memberi nafkah.
    5. Suatu kesalahan (pelanggaran) hukum khusunya yang berkenaan dengan pasal 8 (tentang poligami) dan 37 (pemberian nafkah).
    6. Tindakan amoral yang patut dicela.

2.      Khulu’
Isteri diperkenankan memohon perpisahan dari suaminya melalui khulu’ atas persetujuan kedua belah pihak. Kalau antara suami isteri tidak sepakat, hakim boleh memutuskan perceraian dengan pertimbangan dan memberi kompensasi kepada suami yang jumlahnya tidak melebihi nilai mahar.















BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Pembaharuan Hukum Keluarga Mesir dilakukan tahap demi tahap menuju kesempurnaan hukum dengan mengadopsi Hukum Islam yang bersumber dari pemikiran-pemikiran Fuqaha terutama dari Imam Mazdhab Empat. Hal ini dipahami karena mayoritas penduduk adalah umat Islam yang sebagian besar bermazdhab Syafi’i.
 Legalisasi poligami adalah salah satu bentuk bahwa Hukum Kelurga Mesir bersumber dari Hukum Islam. Hak-hak perempuan lebih dilindungi melalui peraturan-peraturan dalam hal perceraian dan poligami sehingga sewenang-wenangan suami dapat dicegah sedini mungkin. Begitupun dengan pembatasan usia perkawinan yang mendasarkan pada kedewasaan dan kematangan pasangan.
Sedangkan negara Maroko adalah negara yang telah menggabungkan pendapat dari beberapa madzhab dalam mencapai keterangan yang ada dalam hukum Islam yang ada dinegara Maroko dari mbeberapa masalah yang direformasi dalam undang-undang 1958 di Maroko,sebagaimana yang telah ada di negara-negara Islam lainnya. Mungkin hanya ini yang dapat kami presentasikan tentang Hukum Islam di negara Maroko.
Perkembangan hukum Islam di negara Aljazair masih berkisar pada Hukum Keluarga, sedangkan hukum-hukum lainnya menggunakan hukum-hukum yang berasal dari negara penjajahnya, yakni Perancis.
Dalam penyusunan hukumnya, Aljazair merujuk kepada dasar-dasar hukum yang terdapat pada fiqih Madzhab Maliki sebagai moyoritas madzhab masyarakat dan sebagian dari penganut Ibadi dan Hanafi.






DAFTAR PUSTAKA

Tahir Azhary, Muhammad, Negara Hukum Jakarta: Prenada Mulia, 2003, cet. I

_____________________ Negara Hukum, Bogor: Kencana

L Posite, John, Ensiklopedia Oxford Dunia Islam, terj. Bandung : Mizan, 2001, cet. I

Muzdhar, M Atho dan Khoiruddin Nasution (ed), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern , Jakarta  : Ciputat Press, 2003, cet I

Nasution, Khoiruddin, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-undangan Perkawinana Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, INIS, 2002

Sudqi El-Alami, Dawoud, The Marriage Contract in Islamic Law in the Syari’a and Personal Status Laws of Egypt and Marocoo (London: Hartnoll Ltd, 1992, cet. I

Muhammad Tahir Azhary,S.H.



Sejarah singkat Maroko, http://www.sahabatmaroko.com/ index.php?option= com_ content&view= article&id=112&Itemid=55


Schacht, Joseph, Pengantar Hukum Islam, terj., Depag., 1985, h. 123



[1]  H. Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum (Jakarta: Prenada Mulia), cet. I, 2003, hal 225-6.
[2] John L Posite, Ensiklopedia Oxford Dunia Islamterj. (Bandung : Mizan), cet. I, 2001, hal. 48
[3] Lihat: M Atho Muzdhar dan Khoiruddin Nasution (ed), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern dalam Khaoeruddin Nasution (Jakarta  : Ciputat Press), cet I, hal. 13. Lihat juga tesisnya Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-undangan Perkawinana Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia (INIS, 2002), hal. 94 atau lihat Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World (New Delhi, 1972), hal. 48.
[4] Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-undangan Perkawinana Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia (INIS, 2002), hal. 94
[5] Ibid
[6] Ibid, h. 95
[7] Dawoud Sudqi El-Alami, The Marriage Contract in Islamic Law in the Syari’a and Personal Status Laws of Egypt and Marocoo (London: Hartnoll Ltd), cet. I, 1992, hal. 16
[8]  Muhammad Tahir Azhary,S.H. Negara Hukum(Bogor ; Kennncana), h. 229.
[9] http://en.wikipedia.org/wiki/Talk:List_of_Muslim_majority_countries
[10]  http://id.w3dictionary.org/index.php?q=kingdom%20of%/20morocco\
[11] Sejarah singkat Maroko, http://www.sahabatmaroko.com/ index.php?option= com_ content&view= article&id=112&Itemid=55

[12] Atho’ Muzdhar, opcit, h. 119
[13] Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, terj., Depag., 1985, h. 123

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Diberdayakan oleh Blogger.
Welcome to My Blog

- Copyright © Alvaro -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -