Posted by : Unknown Jumat, 14 Desember 2012



BAB II
PEMBAHASAN
PERANAN SUAMI ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

    A.     Kehidupan Dalam Keluarga

          1.       Kedudukan Keluarga
Keluarga merupakan tiang utama kehidupan ummat dan bangsa sebagai tempat sosialisasi nilai-nilai yang paling intensif dan menentukan, karenanya menjadi kewajiban setiap anggota Muhammadiyah untuk
mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah wa Rahmah  yang dikelanal dengan keluarga sakinah.
Dalam setiap dilingkungan dituntut untuk benar-benar dapat mewujudkan Keluarga Sakinah menuju terwujudnya Masyarakat Utama yang diridloi Allah SWT. 
2.       Fungsi Keluarga
Keluarga perlu difungsikan selain dalam mensosialisasikan nilai-nilai ajaran Islam juga melaksanakan fungsi kaderisasi sehingga anak-anak tumbuh menjadi generasi muslim yang dapat menjadi pelangsung dan penyempurna di kemudian hari. Dalam  lingkungan keluarga dituntut keteladanan (uswah hasanah) dalam mepraktekkan kehidupan yang Islami yakni tertanamnya ihsan / kebaikan dan bergaul dengan makruf , saling menyayangi dan mengasihi,  menghormati hak hidup anak, saling menghargai dan menghormati antar anggota keluarga, memberikan pendidikan akhlaq yang mulia secara paripurna, menjauhkan segenap anggota keluarga dari bencana siksa neraka,  membiasakan bermusyawarah dalam menyelesaikan urusan, berbuat adil dan ihsan,  memelihara persamaan hak dan kewajiban, menyantuni anggota keluarga yang tidak mampu . 
Di tengah arus media elektronik dan media cetak yang makin terbuka, keluarga kian dituntut perhatian dan kesungguhannya dalam mendidik anak-anak dan menciptakan suasana yang harmonis agar terhindar dari pengaruh-pengaruh negatif dan terciptanya suasana pendidikan keluarga yang positif dengan nilai-nilai jaran Islam.
B.     Fungsi Suami
Sudah  umum dipahami  bahwa  suami  adalah  kepala  rumah  tangga,  dan  istri adalah  ibu  rumah  tangga.  Logika  ini  tidak  bisa  diganti  dengan  sebaliknya.  Problemya  adalah  apa yang dimaksud  dengan  kepala  rumah tangga  dan  apa  yang dimaksud dengan ibu rumah tangga.  Disini, yang berlaku umum dalam masyarakat kita adalah bahwa kepala rumah tangga  mengurusi  urusan-urusan  besar   dalam  rumah  tangga,  yakni  yang menyangkut  pencarian  nafkah,  penjagaan  hubungan  rumah  tangga  dengan masyarakat,  dan  urusan-urusan  lain  yang  melibatkan  rumah  tangga  dengan kehidupan sosial. Sementara, defenisi ibu rumah tangga adalah bahwa seorang ibu mempunyai  tugas-tugas  pengaturan  rumah  tangga  berskala  kecil,   seperti pengaturan  rumah  dan  perabotan,  pengaturan  urusan  dapur,  pengaturan  urusan keuangan rumah tangga, pengaturan  kesejahteraan anggota-anggota  rumah  tangga dan pengaturan anak.[1] Tampaknya,  tugas ibu  rumah  tangga  tersebut  ringan  dan  kecil,   tetapi  pada kenyataannya, seorang  ibu  rumah  tangga  dihabiskan waktunya  untuk  disibukkan dalam  rumah  tangga  tersebut.  Di  sinilah  kadang  seorang  kepala  rumah  tangga kurang menyadari tugas-tugas ibu rumah tangga.
Jadi,  kalau  para  suami  mau  jujur  terhadap  dirinya  sendiri,  maka  suami  akan menyadari  bahwa  tugas-tugas  konkrit  seorang  istri  lebih  berat  daripada  tugas-tugas  seorang  suami.  Maka,  kerelaan  seorang  istri  untuk  menjadi  ibu  rumah tangga  dan  keikhlasannya  menganggap  suami  menjadi  kepala  rumah  tangga, adalah  penghormatan yang  setinggi-tingginya  yang  dapat  diberikan  oleh  seorang istri  kepada  suaminya.  Dan  hal  ini  memang  telah  dimekanismekan  oleh  alam, bahwa pembagian yang seperti itu adalah pembagian yang alamiah.[2]  Keluarga  bisa  dianggap  sebagai  miniatur  dari  sebuah  sistem  pemerintahan, yang memerlukan seseorang pemimpin, bertujuan untuk menciptakan negara yang maju,  aman  dan  sejahtera.  Begitu  juga  dengan  keluarga,  yang  memerlukan seorang  pemimpin  yang  biasa  disebut  dengan  kepala  rumah  tangga  untuk menciptakan  keluarga  yang  diimpikan  yaitu  keluarga  yang  sakinah,  mawaddah wa rahmah. Agama  Islam menganggap bahwa pemimpin atau kepala dalam rumah  tangga itu adalah seorang suami, ini tergambar jelas dalam firman Allah:

Artinya :  Kaum  laki-laki  itu  adalah  pemimpin  bagi  kaum  wanita,  oleh  karena  Allah telah  melebihkan  sebahagian  mereka  (laki-laki)  atas  sebahagian  yang  lain (wanita),  dan  karena  mereka  (laki-laki)  telah  menafkahkan  sebagian  dari harta mereka  (Q. S. An-Nisa: 34).                                           

C.     Kedudukan Suami
Walaupun suami  merupakan pemimpin dalam keluarga, kepemimpinan  suami di  sini  tidak  sampai  memutlakkan  seorang  istri  tunduk  sepenuhnya.  Istri  tetap mempunyai  hak  untuk  bermusyawarah  dan  melakukan tawar  menawar  keinginan dengan  suami  berdasarkan  argumen-argumen  rasional-kondisional. Kepemimpinan  suami  atas  keluarganya  tidak  menghilangkan  hak-hak  mereka dalam berbagai hal. Hal ini selain selaras dengan realitas, juga lebih sesuai dengan firman Allah:

Artinya : Dan  para  wanita  mempunyai  hak  yang  seimbang  dengan  kewajibannya menurut  cara  yang  ma`ruf.  Akan  tetapi  para  suami  mempunyai  satu tingkatan kelebihan daripada  isterinya. Dan Allah  Maha Perkasa  lagi Maha Bijaksana  (Q. S. Al-Baqarah: 228).
      
Para  wanita  mempunyai  hak  yang seimbang  dengan  kewajibannya  menurut  cara  yang  ma"ruf.  Sebagaimana  pria mempunyai  hak  untuk  rujuk  kepada  istri  yang  diceraikannya,  sang  istri  pun mempunyai hak untuk  diperlakukan secara ma$ruf, yakni  sesuai  dengan tuntunan agama, sejalan dengan akal sehat, serta sesuai dengan sikap orang yang berbudi.  [3]                                            

Adapun hak  dan kewajiban  istri  kepada suami adalah : [4]
1.       Hak istri Mendapatkan mahar
Hak  istri yang pertama kali yang harus dipenuhi  oleh  seorang  suami adalah  diberi  mahar  dengan  penuh  kerelaan.  Ketika  istri menghendaki  mahar  tertentu  suami  harus  memenuhinya  tanpa menguranginya  sedikit  pun.  Bahkan  istri  berhak  menolak  ketika suaminya  ingin  menyentuhnya  apabila  mahar  belum  diberikan. Namun,  jika  ingin  menjadi  perempuan  yang  shalehah,  sebaiknya mempermudah lamaran dan tidak memberatkan mahar.
  
2.       Mendapatkan pergaulan dengan sebaik-baiknya
Secara  naluri  perempuan  memang  memiliki  perasaan  yang  halus, tetapi  ia  mudah  marah.  Oleh  karena  itu,  perempuan  berhak mendapatkan  perlakuan  yang  lembut  dari  suaminya  saat menghadapinya.  Itulah  yang  dilakukan  oleh  Rasulullah  saw. terhadap istri-istrinya.
3.        Mendapatkan nafkah
Istri  sangat  berhak  untuk  mendapatkan  nafkah  dari  suaminya, meskipun  misalnya  istri  tersebut  adalah  orang  yang  kaya.  Secara umum termasuk nafkahnya ialah memberi makan dan pakaian.        
                        
D.     Kedudukan Isteri
Perintah pada istri untuk taat pada suami sering kali juga tidak diimbangi dengan perintah pada suami untuk bersikap baik dan wajar pada istri. Dalam masyarakat patriarki, secara sosio-kultural perempuan telah dididik untuk menjadi penurut. Ini tecermin, misalnya, dalam ungkapan bahasa Jawa “Suargo nunut, neroko katut” yang berarti bahagia atau sengsara suami, si istri harus ikut. Relasi suami-istri seperti ini menjadikan posisi suami sangat kuat, sementara posisi istri sangat lemah. Oleh karena itu, perintah pada istri untuk taat pada suami yang lebih sering dikutip daripada perintah pada suami untuk bertanggung jawab pada istri bisa semakin memperlemah posisi perempuan di hadapan suami yang memang sudah lemah secara sosial.[5] Sebaliknya, hal ini bisa menguatkan posisi laki-laki sebagai suami yang memang sudah kuat secara sosial. Keadaan ini pada gilirannya sering kali kemudian menempatkan suami pada posisi penguasa atas istrinya. Jika ini yang terjadi maka posisi istri menjadi sangat rentan, dan hal ini berpotensi memunculkan kekerasan. Penuturan seorang perempuan (istri) di bawah ini menggambarkan keadaan di atas:

“Suami saya sakit lumpuh, tidak bisa bekerja. Dia suruh saya bekerja keras untuk menghidupi keluarga dan biaya berobat dia. tapi dia tidak tahu terima kasih. Saya harus setor uang hasil jerih payah saya kepadanya dan dia yang atur uang itu untuk apa. Saya setiap hari dijatah dalam menggunakan uang hasil kerja saya sendiri. Kalau tidak cukup saya dimaki- maki dan dilempari apa saja yang bisa diraih. Saya tidak berani melawan karena takut dianggap durhaka pada suami.”

Kisah nyata di atas mencerminkan parahnya ketimpangan relasi suami dan istri. Dalam keadaan invalid, suami masih merasa berhak melakukan tindakan sewenang- wenang atas nama kepala keluarga, tanpa kekhawatiran jika melakukan hal tersebut akan menjadi suami yang tidak bertanggung jawab (suami durhaka). Sebaliknya, istri yang menafkahi keluarga dan mendapatkan kekerasan dari suami masih saja khawatir dianggap tidak berbakti jika melawan kekerasan suaminya.
Ketaatan istri pada suaminya memang dianjurkan agama. Masyarakat memandang bahwa hal itu menjadi ciri utama seorang istri ideal (al-mar’ah al-shâlihah). Dalam menafsirkan Q.S. al-Nisâ’ (4): 34, para ahli tafsir memberikan penjelasan yang berbeda-beda. Ibnu Jarir al-Thabari menjelaskan bahwa istri salehah adalah mereka yang bagus agamanya, taat pada suaminya, menjaga harta dan dirinya untuk suami.  Sementara itu, Ibnu Katsir mengatakan bahwa istri salehah adalah perempuan-perempuan yang taat kepada suaminya, menjaga diri untuk suaminya, dan menjaga harta suami ketika ia tidak di rumah.
Muhammad Syarif al-Shawaf mengatakan bahwa salah satu kriteria perempuan shâlihah adalah sabar atas kondisi ekonomi suaminya. Dia tidak membebani suami di luar kemampuannya. Dia harus menerima sepenuhnya terhadap kenyataan suaminya dan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan suaminya. Apabila suami mempunyai utang kepada orang lain, dia harus bisa berhemat sehingga suami dapat melunasi utangnya. Konsep berbakti kepada orangtua (birr al-wâlidayn) dan istri salehah (al-mar’ah al-shâlihah)  tidak boleh dilepaskan dari kewajiban ayah dan suami untuk berbuat baik kepada anak dan istri. Sebagaimana perempuan, laki-laki sebagai ayah atau suami juga dituntut untuk menjadi orang baik .
Fukaha pada umumnya menjelaskan bahwa kewajiban nafkah yang harus dipenuhi oleh laki-laki meliputi makan minum berikut lauk-pauknya, pakaian, tempat tinggal, pembantu (jika diperlukan), alat-alat untuk membersihkan tubuhnya, dan perabot rumah tangga. Alat-alat kecantikan dan kesehatan dianggap bukan bagian dari nafkah yang wajib disediakan oleh suami, melainkan oleh ayah. Alasannya cukup mengusik karena istri merupakan milk al-manfa‘ah (kepemilikan untuk menggunakan) sebagai-mana rumah kontrakan. Alat kecantikan dan kesehatan dianggap sebagai bahan-bahan yang digunakan untuk memperbaiki rumah kontrakan sehingga menjadi tang-gung jawab pemiliknya yaitu ayah, bukan penyewa atau suami. Konsep mengenai nafkah keluarga seperti ini kemudian dipahami lebih lanjut sebagai pemberian hak kepada suami untuk melarang istrinya bekerja. Banyak perempuan yang mengalah berhenti berkarier agar bisa sepenuhnya mendukung karier suami. Namun, sayangnya, perempuan yang memilih untuk berhenti karier sering kali mengalami ketidakadilan. Pertama, meskipun pekerjaan sebagai ibu rumah berlangsung selama 24 jam sehari, namun mereka tidak dianggap sebagai ibu yang bekerja. Kedua, meskipun pilihan istri untuk berkonsentrasi pada keluarga member kontribusi besar pada ketenangan suami dalam bekerja, namun posisi perempuan menjadi lemah karena ketergantungan secara ekonomi pada suami. Ketiga, pergaulan suami dengan para wanita karier dapat menyebabkan istri terlihat tidak produktif dan menyebabkan mereka tidak segan menceraikan lalu menikah lagi dengan perempuan yang lebih muda dan produktif. Keempat, keluarga mudah jatuh miskin ketika suami mengalami pailit atau kematian. Meskipun ajaran Islam menyebutkan laki-laki sebagai kepala keluarga, namun dalam faktanya banyak perempuan yang berperan sebagai kepala keluarga, baik karena dicerai, ditelantarkan, ditinggal mati suami, maupun karena mereka menjadi satu-satunya orang yang bekerja dalam sebuah keluarga.

Sejak pernikahan, sebetulnya banyak pasangan di mana perempuan lebih banyak berperan. Tak jarang, mahar (maskawin) pun sebetulnya dipersiapkan oleh pihak perempuan. Dalam berkeluarga, tidak sulit pula menemukan pasangan suami istri di mana istri sebetulnya mempunyai pendapatan ekonomi yang lebih besar daripada suami. Hal ini menunjukkan bahwa konsep perkawinan yang menempatkan perempuan dalam posisi di bawah laki-laki dalam praktiknya bisa direkonstruksi dengan menempatkan suami-istri pada posisi setara. Mereka adalah pasangan yang saling melengkapi satu sama lain. Sebagai orangtua, mereka dapat bahu-membahu memenuhi kebutuhan hidup keluarga, mendidik anak, menjaga rumah tangga, dan bersama-sama menjaga kesetiaan ketika berjauhan. Kesetaraan ini sebetulnya menjadi cara pandang Alquran dalam melihat posisi suami dan istri. Berlawanan dengan pandangan umum dalam masyarakat bahwa nusyûz (pembangkangan) bisa dilakukan oleh istri sehingga yang dikenal hanyalah istilah nusyûz istri, Alquran menggunakan kata nusyûz juga untuk para suami, yaitu mereka yang tidak memenuhi kewajiban sebagai suami.[6]
E.      Kewajiban Suami
Suami  adalah  kepala  rumah tangga.  Pada dirinya  terletak responsibilitas  yang besar,  kewajiban  yang  bermacam-macam  terhadap  keluarganya,  dirinya  dan  agamanya  yang harus ia letakkan  secara seimbang, sehingga satu kewajiban tidak  mengurangi kewajiban yang lain.  Sesungguhnya  Allah  swt.  Telah  berkehendak  memberikan  amanah  kepada perempuan  untuk  hamil,  melahirkan  dan  menyusui  tugas  yang  amat  besar. Karenanya  sangat adil, jika kemudian Allah  membebankan  tugas  kepada laki-laki untuk  mencari  nafkah,  untuk  memenuhi  kebutuhan  utama  keluarganya  dan memberikan  perlindungan  kepada  perempuan  sehingga  dapat  berkonsentrasi menjalankan tugas mulianya.
1.  Memberi nafkah lahir dan batin/pergaulan suami istri
Ajaran  Islam  menetapkan  bahwa  suami  bertanggung  jawab  untuk menafkahi istrinya, baik nafkah lahir maupun nafkah batin.
a.       Nafkah lahir
Allah swt. telah berfirman dalam Al-Qur$an surat Al-Baqarah ayat 233 yaitu:

Artinya : Para  ibu  hendaklah  menyusukan  anak-anaknya  selama  dua  tahun penuh,  yaitu  bagi  yang  ingin  menyempurnakan  penyusuan.  Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para  ibu dengan cara yang  ma`ruf. Seseorang  tidak dibebani melainkan  menurut kadar kesanggupannya... . (Q. S. Al-Baqarah: 233).

b.      Nafkah batin / Pergaulan Suami Istri
Tidak  dapat  dipungkiri  bahwa  laki-laki  dan  perempuan  sama-sama memiliki nafsu syahwat, dengan  adanya nafsu syahwat  itu maka setiap orang  ingin  memiliki  keturunan,  yang  akhirnya  disyariatkanlah perkawinan. Ada  ulama  berpendapat  bahwa  hukum  memberikan  nafkah  batin (hubungan  suami  istri)  bagi  seorang suami apabila  tidak  ada  halangan adalah wajib. Ada juga yang  mengatakan bahwa melakukan hubungan suami istri itu wajib dilakukan  setiap empat hari  sekali, tetapi ada juga yang berpendapat enam hari sekali.[7]
Sebenarnya berbagai macam pendapat  ulama di atas itu sejalan dengan anjuran  Rasulullah  saw.  yang  melarang  setiap  suami  meninggalkan istrinya  dalam  waktu  yang  terlalu  lama,  walaupun  untuk  tujuan berzikir,  beribadah  dan  jihad.  Karena  perbuatan  yang  demikian  itu pada hakikatnya akan menyiksa perasaan istri.  Selain  hanya  untuk  memenuhi  kebutuhan  nafsu  syahwat,  memiliki keturunan  merupakan  salah  satu  tujuan  dari  ikatan  perkawinan.  Oleh karena  itu,  salah  satu  dari  suami  atau  istri  tidak  boleh  menghalangi yang  lainnya  untuk  memenuhi  hak  berhubungan  suami  istri.  Hak berhubungan  suami  istri  ini  ditetapkan  oleh  syara’.  Allah  swt. berfirman:

Artinya : Isteri-isterimu  adalah  (seperti)  tanah  tempat  kamu  bercocok-tanam, maka datangilah  tanah  tempat  bercocok-tanammu itu  bagaimana  saja kamu kehendaki. Dan  kerjakanlah (amal yang  baik) untuk  dirimu, dan bertakwalah  kepada  Allah  dan  ketahuilah  bahwa  kamu  kelak  akan menemui-Nya.  Dan  berilah  kabar  gembira  orang-orang  yang beriman.  (Q. S. Al-Baqarah: 223).   
      
c.       Mempergauli istri dengan baik
Islam  memandang  rumah  tangga  dengan  mengidentifikasinya  sebagai tempat  ketenangan,  keamanan  dan  kesejahteraan.  Islam  juga  memandang hubungan  dan  jalinan  suami-istri  dengan  menyifatinya  sebagai  hubungan cinta,  kasih  dan  sayang,  dan  menegakkan  unsur  ini  di  atas  pilihan  dan kemauan  mutlak  agar  semuanya  dapat  berjalan  dengan  sambut menyambut, sayang menyayangi dan cinta mencintai. Kewajiban  yang  harus  selalu  diperhatikan  oleh  suami  sebagai  kepala rumah  tangga  adalah  menjaga  kemuliaan  istrinya  dari  hal-hal  yang menyebabkan  kehormatannya  dihina  atau  hal-hal  yang  merendahkan martabatnya  sebagai  manusia.  Sang  suami  harus  menjauhi  hal-hal  yang bisa  melukai  perasaannya  dan  berusaha  sekuat  mungkin  untuk  tidak mengingkari janji yang telah dibuat bersama. Tentang hal ini Allah swt. Berfirman:

Artinya : ...Dan  bergaullah  dengan  mereka  secara  patut.  Kemudian  bila  kamu tidak  menyukai  mereka,  (maka  bersabarlah)  karena  mungkin  kamu  tidak menyukai  sesuatu,  padahal  Allah  menjadikan  padanya  kebaikan  yang banyak  (Q. S. An-Nisaa: 19).

Dan  bergaullah  dengan  mereka  secara  makruf, ada  ulama  yang  memahaminya  dalam  arti  perintah  untuk  berbuat  baik

d.      Membimbing dan Mendidik Keagamaan Isteri
Seorang  suami  wajib  bertanggung  jawab  di  hadapan  Allah  dalam  membimbing dan  mendidik  isterinya,  sebab  suami  merupakan  pemimpin  bagi  isterinya  dalam keluarga (QS. al-Nisa’ (4): 34). Sebagai  pemimpin  suami  harus  bertanggung  jawab  atas  kepemimpinannya. Karena itu suami bertanggung jawab atas pendidikan isterinya.  Seandainya  isterinya  belum  memiliki  pengetahuan  agama  yang  cukup,  maka suami  wajib  mendidiknya  sehingga  memiliki  pengetahuan  agama  yang  cukup dan  mampu  mengamalkannya  dalam  kehidupan  sehari-hari.  Jika  suami  tidak mampu  mendidiknya  sendiri,  maka  dia  wajib  mendatangkan  guru  untuk  isterinya, atau menyediakan buku yang dapat dibaca isterinya.

e.       Melindungi Isteri Dari Berbagai Ancaman dan Bahaya 
Suami juga  wajib  melindungi  isterinya  dari  berbagai gangguan atau bahaya  yang mungkin  timbul.  Sebagai  pemimpin  suami  juga  harus  mampu  memberikan perlindungan  yang  baik  kepada  isterinya,  karena  secara  fisik  suami  memiliki kelebihan dibanding isterinya.  Islam  menempatkan  isteri  sebagai  amanah  yang  diberikan  kepada  suaminya untuk  dijaga  keselamatannya.  Karena  seorang  isteri  selalu  dipengaruhi  oleh.       
                           ­­
F.      Kewajiban Memberi Nafkah
Secara bahasa النفقة   (nafkah) artinya sesuatu yang dibelanjakan sehingga habis tidak tersisa. Sedangkan secara istilah syari’at artinya; mencukupi kebutuhan siapapun yang ditanggungnya, baik berupa makanan, minuman pakaian, atau tempat tinggal.[8]
1.       Kewajiban menafkahi sebab pernikahan
Seorang laki- laki jika menikahi seorang wanita, maka wajib baginya memberinya nafkah, hal ini didasari oleh beberapa hal: Allah berfirman:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ
Artinya : ‘’Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.’’ (QS.Al-Baqarah 228)
Ibnu Katsir berkata,’’maksudnya, para istri mempunyai hak diberi nafkah oleh suaminya yang seimbang dengan hak suami yang diberikan oleh istrinya, maka hendaklah masing- masing menunaikan kewajibannya dengan cara yang makruf, dan hal itu mencakup kewajiban suami memberi nafkah istrinya, sebagaimana hak- hak lainnya .’’  (Tafsir al-Qur’anil Adhim 1/272)
Rasulullah bersabda;
وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya : ‘’Dan mereka (para istri) mempunyai hak diberi rizki dan pakaian (nafkah) yang diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para suami).’’ (HR. Muslim 2137).
Para ulama bersepakat atas kewajiban seorang suami memberi nafkah istrinya, seperti yang dikatakan oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah dan lainnya. [9]
2.       Kadar besaran nafkah
Para fuqoha (ahli fiqih) bersepakat bahwa ukuran yang wajib diberikan sebagai nafkah adalah yang makruf/ yang patut atau wajar, sedangkan mayoritas pengikut madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali, mereka membatasi yang wajib adalah yang sekiranya cukup untuk kebutuhan sehari- hari, dan kecukupan itu berbeda- beda menurut perbedaan kondisi suami dan istri, kemudian hakim-lah yang memutuskan perkara jika ada perselisihan. Hal ini dedasari oleh firman Allah;
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
Artinya :‘’Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf, Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.’’ (QS.al-Baqarah 233)
Kadar nafkah untuk kecukupan keluarga dalam kehidupan sehari- hari dengan cara yang wajar telah ditegaskan oleh Rasulullah, ketika Hindun bintu Itbah melaporkan yang suaminya yang sangat kikir, beliau bersabda;
خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya : ‘’Ambil-lah nafkah yang cukup untukmu dan anak- anakmu dengan cara yang wajar.’’ (HR.Bukhori 4945)
3.       Waktu wajib memberi nafkah
Pada dasarnya seorang suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya pada permulaan pagi setiap harinya, karena saat itulah kebutuhan nafkah (makanan dan minuman) mulai terasa, akan tetapi jika keduanya sepakat untuk menunda atau memajukannya, seperti setiap akhir pekan atau setiap awal bulan atau akhirnya dan semisalnya (karena suatu kemaslahatan), maka itu dibolehkan sebab nafkah hanyalah hak dan kewajiban suami istri. Wajib bagi seorang suami untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal istrinya dengan layak , hal ini telah disepakati oleh para ulama, sebagaimana firman- Allah:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ
Artinya :‘’Dan bergaullah dengan mereka secara patut.’’ (QS.An-Nisa’ 19)
Termasuk mempergauli istri dengan cara yang patut adalah menempatkan istri dirumah yang patut/layak baginya, sebab istri membutuhkan tempat tinggal yang dapat dipakai beristirahat, bersenang- senang dengan suaminya dan menutupi auratnya dari pandangan manusia, serta untuk menjaga hartanya, hanyasaja tempat tinggalnya disesuaikan dengan kemampuan sang suami, sebab Allah berfirman;
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ
Artinya : ‘’Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.’’ (QS.At-Thalaq 6)
4.       Haruskah ada pembantu rumah tangga?
Tidak ada perselisihan,[10] diantara para ulama bahwa seorang istri yang tidak mampu hidup sendiri kecuali dengan pembantu rumah tangga, baik karena sebab terbiasa hidup berkecukupan, karena sakit atau sebab lainnya, maka wajib bagi suami jika mampu untuk mendatangkan pembantu rumah tangga demi membantu istrinya menyelesaikan urusan rumahnya, hal ini termasuk dalan firman-Nya:
 وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ
Artinya : ‘’Dan bergaullah dengan mereka secara patut.’’ (QS.An-Nisa’ 19)
Dan termasuk mempergauli istri dengan cara yang patut adalah suami memenuhi kebutuhan pokok sang istri seperti pembantu rumah tangga
G.     Pola- Pola Hubungan Suami Isteri Dalam Rumah Tangga
Menurut Scanzoni dan Scanzoni (1981) hubungan suami-istri dapat dibedakan menurut pola perkawinan yang ada. Mereka menyebut ada 4 macam pola perkawinan yaitu owner property, head complement, senior junior  partner, dan equal partner.

a.       Pada pola perkawinan owner property,
istri adalah milik suami sama seperti uang dan barang berharga lainnya. Tugas suami adalah mencari nafkah dan tugas istri adalah menyediakan makanan untuk suami dan anak-anak dan menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga yang lain karena suami telah bekerja untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya. Dalam pola perkawinan seperti ini berlaku norma :
1.       Tugas istri adalah untuk membahagiakan suami dan memenuhi semua keinginan dan kebutuhan rumah tangga suami.
2.       Istri harus menurut pada suami dalam segala hal.
3.       Istri harus melahirkan anak-anak yang akan membawa nama suami.
4.       Istri harus mendidik anak-anaknya sehingga anak-anaknya bisa membawa nama baik suami.
Pada pola perkawinan ini, istri dianggap bukan sebagai pribadi melainkan sebagai perpanjangan suaminya saja. Ia hanya merupakan kepentingan, kebutuhan, ambisi, dan cita-cita dari suami. Suami adalah bos dan istri harus tunduk padanya. Bila terjadi ketidaksepakatan, istri harus tunduk pada suami. Dengan demikian akan tercipta kestabilan dalam rumah tangga. Tugas utama istri pada pola perkawinan seperti ini adalah untuk mengurus keluarga. Karena istri tergantung pada suami dalam hal pencarian nafkah, maka suami dianggap lebih mempunyai kuasa (wewenang). Kekuasaan suami dapat dikuatkan dengan adanya norma bahwa istri harus tunduk dan tergantung pada suami secara ekonomis. Dari sudut teori pertukaran, istri mendapatkan pengakuan dari kebutuhan yang disediakan suami. Istri mendapatkan pengakuan dari kerabat dan peer group berdasarkan suami. Demikian juga dengan status sosial, status sosial istri mengikuti status sosial suami. Istri mendapat dukungan dan pengakuan dario orang lain karena ia telah menjalankan tugasnya dengan baik. Istri juga bertugas untuk memberikan kepuasan seksual kepada suami. Adalah hak suami untuk mendapatkan hal ini dari istrinya. Bila suami ingin melakukan hubungan seksual, istri harus menurut meskipun ia tidak menginginkannya. Suami bisa menceraikan istri dengan alasan bahwa istrinya tidak bisa memberikan kepuasan seksual. Bila istri ingin  mengunjungi kerabat atau tetangga, tetapi suami menginginkan ia ada di rumah, istri harus menurut keinginan suami hanya karena normanya seperti itu. Istri  tidak boleh memiliki kepentingan pribadi. Kehidupan pribadi wanita menjadi hak suami begitu ia menikah, sehingga seakan-akan wanita tidak punya hak atas dirinya sendiri. Sebagai contoh, di Nusa Tenggara Barat ada norma yang mengatakan bahwa istri tidak boleh mendahului suaminya dalam segala sesuatu. Sehingga setelah ada proyek jambanisasi, yaitu jamban baru dibuat di rumah-rumah penduduk, ada kasus bahwa seorang istri  dan anak-anaknya tidak berani menggunakannya terlebih dahulu karena suaminya masih bertugas ke luar kota. Pada kasus lain, seorang istri tidak berani menjenguk orang tuanya yang meninggal di luar kota, juga karena suaminya saat itu tidak berada di tempat.
Pada masa lalu, di kalangan kelompok priyayi Jawa, suami bisa saja menceraikan istrinya sesuka hatinya bila ia sudah tidak menyukainya lagi. Dalam hal ini, istri tidak mempunyai hak bertanya apalagi protes. Pada pola perkawinan seperti ini, perkawinan lebih didasarkan pada garis keturunan dan pemilikan daripada kasih sayang. Pada pola perkawinan  ini, hukuman fisik sering dilakukan oleh suami terhadap istri agar istri  menurut padanya.

b.      Pada pola perkawinan yang head-complement,
Istri dilihat sebagai pelengkap suami. Suami diharapkan untuk memenuhi kebutuhan istri akan cinta dan kasih sayang, kepuasan seksual, dukungan emosi, teman, pengertian dan komunikasi yang terbuka. Suami dan istri memutuskan untuk mengatur kehidupan bersamanya secara bersama-sama. Tugas suami masih tetap mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, dan tugas istri masih tetap mengatur rumah tangga dan mendidik anak-anak. Tetapi suami dan istri kini bisa merencanakan kegiatan bersama untuk mengisi waktu luang. Suami juga mulai membantu istri di saat dibutuhkan, misalnya  mencuci piring atau menidurkan anak, bila suami mempunyai waktu  luang. Tugas istri yang utama adalah mengatur rumah tangga dan memberikan dukungan pada suami sehingga suami bisa mencapai maju dalam pekerjaannya. Suami mempunyai seseorang yang melengkapi dirinya. Norma dalam perkawinan masih sama seperti dalam owner property, kecuali dalam hal ketaatan. Dalam perkawinan owner property,suami bisa menyuruh istrinya untuk mengerjakan sesuatu, dan istri harus melakukannya. Tetapi dalam perkawinan head-complement suam i akan berkata, “Silakan kerjakan.” Sebaliknya, istri juga berhak untuk bertanya, “Mengapa” atau “Saya rasa itu tidak perlu.” Di sini suami tidak memaksakan keinginannya. Tetapi keputusan terakhir tetap ada di tangan suami, dengan mempertimbangkan keinginan istri sebagai pelengkapnya. Dalam kondisi tertentu, istri bisa bekerja dengan izin suami. Di segi ekspresif, ada perubahan nilai di mana suami dan istri menjadi pacar dan teman. Mereka diharapkan untuk saling memenuhi kebutuhan, tidak hanya semata-mata dalam hal penghasilan, melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, kebutuhan seksual dan anak-anak.
Mereka juga diharapkan untuk bisa menikmati kehadiran pasangannya sebagai pribadi, menemukan kesenangan dari kehadiran itu, saling percaya, dan berbagai masalah, pergi dan melakukan kegiatan bersama-sama. Dalam pola perkawinan ini secara sosial istri menjadi atribut sosial suami yang penting. Istri harus mencerminkan posisi dan martabat suaminya, baik dalam tingkah laku sosial maupun dalam penampilan fisik material. Misalnya, seorang istri pejabat harus juga menjadi panutan bagi para istri anak buah suaminya. Ingat saja gejala Dharma Wanita. Ketua Dharma Wanita adalah istri pemimpin instansi yang bersangkutan.  Sebaliknya, tidak ada Dharma Pria yang diketua oleh suami dari istri yang menjadi pemimpin di instansi yang bersangkutan. Wanita juga harus selalu menampilkan diri seperti pakaian, rambut, sepatu, dan perhiasan  lainnya sesuai dengan status suami. Dalam hubungan ini, kedudukan istri sangat tergantung pada posisi suami atau ayah sebagai kepala keluarga. 
Bila posisi suami meningkat, posisi istri pun ikut meningkat. Bila suami dipindahtugaskan, istri dan anak-anak pun ikut serta. Pada pola perkawinan seperti ini, ada dukungan dari istri untuk mendorong suksesnya suami. Usaha istri tersebut biasanya tidak terlihat dan kurang dihargai daripada pekerjaan yang mendapat upah. Papanek (1979) seperti yang dikutip oleh Thompson dan Walker (1989) menggambarkan dukungan istri itu dalam bentuk memperhatikan pakaian, mengundang relasi, mengajarkan anak-anak akan nilai yang pantas, dan terlibat dalam politics of status maintenance.
c.       pola perkawinan senior-junior partner,
posisi istri tidak lebih sebagai pelengkap suami, tetapi sudah menjadi teman. Perubahan ini terjadi karena istri juga memberikan sumbangan secara ekonomis meskipun pencari nafkah utama tetap suami. Dengan penghasilan yang didapat, istri tidak lagi sepenuhnya tergantung pada suami untuk hidup. Kini istri memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan. Menurut teori pertukaran, istri mendapatkan kekuasaan dan suami kehilangan kekuasaan. Tetapi suami masih memiliki kekuasaan yang lebih besar dari istri karena posisinya sebagai pencari nafkah utama. Artinya, penghasilan istri tidak boleh lebih besar dari suami. Dengan begitu suami juga menentukan status sosial istri dan anak-anaknya. Ini berarti, istri yang berasal dari status sosial yang lebih tinggi, akan turun status sosialnya karena status sosialnya kini mengikuti status sosial suami.
Ciri perkawinan seperti inilah yang banyak terdapat sekarang ini. Istri bisa melanjutkan sekolah asal sekolah atau karier suami didahulukan. Istri juga bisa merintis karirnya sendiri setelah karir suami sukses. Dalam pola perkawinan seperti ini istri harus mengorbankan kariernya demi karir suaminya. Di kalangan beberapa instansi pemerintah, suami harus menjalani tugas di daerah sebelum bisa dipromosikan ke pangkat yang lebih tinggi. Demi karir suami inilah, seringkali istri rela berkorban.

d.      Pada pola perkawinan equal partner,
tidak ada posisi yang lebih tinggi atau rendah di antara suami-istri. Istri mendapat hak dan kewajibannya yang sama untuk mengembangkan diri sepenuhnya dan melakukan tugas-tugas rumah tangga. Pekerjaan suami sama pentingnya dengan pekerjaan istri. Dengan demikian istri bisa pencari nafkah utama, artinya penghasilan istri bisa lebih tinggi dari suaminya. Dalam hubungan ini, alasan bekerja bagi wanita berbeda dengan alasan yang dikemukakan dalam pola perkawinan sebelumnya. Alasan untuk bekerja biasanya menjadi “sekolah untuk kerja” atau “supaya mandiri secara penuh.” Dalam pola perkawinan ini, norma yang dianut adalah baik istri atau suami mempunyai kesempatan yang sama untuk berkembang, baik di bidang pekerjaan maupun secara ekspresif. Segala keputusan yang diambil di antara suami istri, saling mempertimbangkan kebutuhan dan kepuasaan masing-masing. Istri mendapat dukungan dan pengakuan dari orang lain karena kemampuannya sendiri dan tidak dikaitkan dengan suami. Dalam pola perkawinan seperti ini, perkembangan individu sebagai pribadi sangat diperhatikan. Melalui analisis majalah wanita di Amerika Serikat dari tahun 1900 sampai tahun 1979, Cancian dan Gordon seperti yang dikutip oleh  Thompson dan Walker (1989) melaporkan bahwa ada perubahan emosi pada perkawinan kelas menengah. Meskipun cinta dan perkawinan sebagai  self sacrifice tetap merupakan pesan utama yang disampaikan pada wanita, ada kecenderungan untuk menuju pada cinta sebagai perasaan yang diekspresikan dan perkawinan sebagai tempat untuk mengembangkan diri. Konsep  seperti ini dalam perkawinan memungkinkan pria untuk mengekspresikan kebutuhan dan perasaannya dan wanita untuk mengekspresikan kemarahan mereka yang terkontrol.
Kesimpulannya bahwa meskipun dalam perkawinan sekarang diperhatikan masalah keintiman yang emosional, wanita tetap bertanggungjawab untuk melihat apakah hal yang ideal ini terwujud dalam perkawinan.   






[1] Majid  Sulaiman  Daudin, Hanya  untuk Suami,  (Jakarta:  Gema  Insani, 1996), Cet. Ke-1,  h. 276.  
[2] Ibid, h. 277
[3] M.  Quraish  Shihab,  Tafsir  Al-Misbah:  Pesan,  Kesan,  dan  Keserasian  Al-Quran,  (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet. Ke-X, Jil. 2, h. 490

[4]
[5] Nura Rafiah, Memecah Kebisuan :  Agama Mendengar Korban Kekerasan Perempuan Demi Keadilan, (Jakarta : Open Society Institute, 2010), h.   128)

[6] Ibid, h. 137
[7] Kasmuri Selamat, Suami Idaman Istri Impian: Membina Keluarga Sakinah (Jakarta: Kalam Mulia, Cet. Ke-6, 2007),h. 79.

[8] Lihat Fiqhul Muyassar/Qismu Fiqhil Usrah 3/209, karya Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad al-Muthlaq (anggota Ulama besar dan Komite tetap untuk fatwa KSA), Prof.Dr. Abdullah bin Muhammad at-Thoyyar, dan Dr. Muhammad bin Ibrohim al-Musa (Anggota mahkamah agung bagian wakaf wakaf KSA), lihat juga Fiqhus Sunnah karya as-Sayyid Sabiq 2/266.
[9] Lihat al-Ijma’ karya Ibnul Mundzir hlm.78, Marotibul Ijma’ hlm.79, al-Washith karya al-Ghozali 6/203, dan al-Mughni karya Ibnu Qudamah 9/229, lihat juga Fiqhus Sunnah karya as-Sayyid Sabiq 2/267-268.
[10] Lihat Hasyiyah Ibnu Abidin 3/588, as-Syarhul Kabir ma’a Hasyiyah ad-Dasuqi 2/510, Mughni al-Muhtaj 3/432, dan al-Mughni 9/237.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Diberdayakan oleh Blogger.
Welcome to My Blog

- Copyright © Alvaro -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -