Posted by : Unknown Rabu, 12 Desember 2012


Sunday, July 11, 2004
=== KENANGAN KEPADA SEORANG DEMONSTRAN - SOE HOK GIE  (artikel dr indomedia.com)===
Enam belas Desember 30 tahun lalu, Soe Hok Gie, tokoh mahasiswa dan pemuda, meninggal dunia di puncak G. Semeru, bersama Idhan Dhanvantari Lubis. Sosok dan sikapnyasebagai pemikir, penulis, juga aktivis yang berani, cobaditampilkan Rudy Badil, yang mewakili rekan lainnya, Aristides (Tides) Katoppo, Wiwiek A. Wiyana, A. Rachman(Maman), Herman O. Lantang dan almarhum Freddy Lasut.

"Siap-siap kalau mau ikut naik lagi ke Gunung Semeru.Kasih kabar secepatnya, sebab harus ada persiapan di musim  penghujan Desember, juga pertengahan Desember itu bulan puasa Ramadhan," kata Herman O. Lantang, mantan pimpinan pendakian Musibah Semeru 1969, yang masih amat bugar diumurnya yang sudah lewat 57 tahun.Terkejut dan tersentuh juga saya saat mendengar ajakanHerman itu. Dia merencanakan membentuk tim kecil untuk mendaki puncak Semeru lagi Desember ini, sambilSoe Hok Gie dan Idhan Lubis. "Kita juga akan berdoa,sekalian mengenang Freddy Lasut yang meninggal beberapa bulan lalu," lanjutnya.Soe meninggal dunia saat baru berumur 27 tahun kurangsehari. Idhan malah baru 20 tahun. "Tanpa terasa Soe sudahtiga dasawarsa meninggalkan kita sejak Orde Baru ... perkembangan yang terjadi di Tanah Air dalam dua tahunterakhir ini, khususnya gerakan mahasiswa yang telah menggulingkan pemerintahan Orde Baru, mengingatkan kitakembali pada situasi tahun 1960-an, ketika Soe masih menjadi aktivis mahasiswa kala itu," begitu bunyi naskah buku kecil acara "Mengenang Seorang Demonstran", berisikan antara lain diskusi panel soal bangsa dannegara Indonesia ini), yang bakal diselenggarakan IluniFSUI dan Alumni Mapala UI.Kasih batu dan cemaraDari beberapa catatan kecil serta dokumentasi yang ada,termasuk buku harian Soe yang sudah diterbitkan, CatatanSeorang Demonstran (CSD) (LP3ES, 1983), di benak saya mulai tergali suasana sore hari bergerimis hujan dan kabuttebal, tanggal 16 Desember 1969 di G. Semeru.Seusai berdoa dan menyaksikan letupan KawahJonggringseloko di Puncak Mahameru (puncaknya G. Semeru)serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiangawan, bersama Maman saya terseok-seok gontai menurunidataran terbuka penuh pasir bebatuan. Kami menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru.Di depan kelihatan Soe sedang termenung dengan gayakhasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan

tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering. Tidesdan Wiwiek turun duluan. Sempat pula kami berpapasandengan Herman dan Idhan. Kelihatannya kedua teman itu akan menjadi yang paling akhir mendaki ke Mahameru.Dengan tertawa kecil, Soe menitipkan batu dan daun cemara.Katanya, "Simpan dan berikan kepada kepada 'kawan-kawan' batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkandaun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini padacewek-cewek FSUI." Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya,sebelum bersama Maman saya turun ke perkemahan daruratdekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara), bersama Tides, Wiwiek dan Maman, kami menunggu datangnya Herman, Freddy, Soe, danIdhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamatkelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas. Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. "Soedan Idhan kecelakaan!" katanya. Tak jelas apakah waktu ituFreddy bilang soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik, kami berjalan tertatih-tatih ke arah puncaksambil meneriakkan nama Herman, Soe, dan Idhan berkali-kali.Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskandiri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Soedan Idhan sudah meninggal! Kami semua bingung, tak tahuharus berbuat apa, kecuali berharap semoga laporan Hermanitu ngaco. Kami berharap semoga Soe dan Idhan cuma pingsan, besok pagi siuman lagi untuk berkumpul dantertawa-tawa lagi, sambil mengisahkan pengalaman masing-masing.Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan. Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwieksegera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian(danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacanghijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta kami menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karenatergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil."Cek lagi keadaan Soe dan Idhan yang sebenarnya," begituucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap.Selanjutnya, kami berempat tidur sekenanya, sambil menahanrembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yangnyaris membekukan sendi tulang.Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, kami yakin kalauSoe dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di

Pulau Jawa. Kami jumpai jasad kedua kawan kami sudah kaku.Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil
 
G. Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Soe danIdhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Kamisemua diam dan sedih. Mengapa naik gunungSejak dari Jakarta Soe sudah merencanakan akan memperingati hari ultahnya yang ke-27 di Puncak Mahameru. Malam sebelumnya, tanggal 15 Desember, dalam tenda sempitdi tepi hutan Cemoro Kandang, Soe yang amat menguasailirik dan falsafah lagu-lagu tertentu, meminta kami menyanyikan lagu spiritual negro, Nobody Knows, sampai berulang-ulang. Padahal irama lagu ini monoton sampaisudah membosankan kuping dan tenggorokan.Idhan yang pendiam, cuma duduk tertawa-tawa, sambil mengaduk-aduk rebusan mi hangat campur telur dan kornet bercerita, termasuk mendengarkan rencana Soe yang mau berultah di puncak gunung. "Pokoknya gue akan berulangtahun di puncak Semeru dong.Lagu Donna Donna-nya Joan Baez itu bagus sekali."Pagi hari nahas itu, sebelum berkemas untuk persiapan pendakian ke puncak, kami sarapan berat. Soe yang biasanyacuma bercelana pendek, kini memakai celana panjang dengansepatu bot baru. Bahkan dia mengenakan kemeja kaus warnakuning dengan simbol UI di kantung. "Keren enggak?"Tanyanya.Rombongan pun berjalan mendaki, menuju Puncak Mahamerudari dataran di kaki G. Bajangan. Soe sebagaimana biasanya, selalu memanggul ransel besar dan berat, berjalan gesit sambil banyak cerita dan komentar. Ia mengisahkan bahwa di sekitar daerah itu pasti masih banyakharimau karena dia menemukan jejak kakinya. Dia juga menyebut kalau Cemoro Kandang berlumpur arang gara-garakebakaran hutan pinus tahunan, sebagai pertanda seleksialam dan proses regenerasi tanaman hutan.Dosen sejarah ini terus nyerocos kepada mahasiswanya(saya), asal muasal nama recopodo alias arca kembar, serta mitologi Puncak Mahameru yang berkaitan dengan nasibPandawa Lima dalam pewayangan Jawa. Namun sang mahasiswajuga membayangkan dengan geli, betapa kagetnya wakilDPR-RI saat itu ketika menerima bingkisan dari kelompokSoe berisi gincu dan cermin sebagai perlambang fungsianggota DPR yang banci. Sayang, cuma segitu ingatan sayatentang Soe pada jam-jam terakhirnya.Yang masih tetap terngiang justru rayuan dan"falsafahnya", kala mengajak seseorang mendaki gunung."Ngapain lama-lama tinggal di Jakarta. Mendingan naikgunung. Di gunung kita akan menguji diri dengan hidupsulit, jauh dari fasilitas enak-enak. Biasanya akan
 
ketahuan, seseorang itu egois atau tidak. Juga denganolahraga mendaki gunung, kita akan dekat dengan rakyat di pedalaman. Jadi selain fisik sehat, pertumbuhan jiwa jugasehat. Makanya yuk kita naik gunung. Ayo ke Semeru,sekali-kali menjadi orang tertinggi di P. Jawa. Masa cumaSoeharto saja orang tertinggi di P. Jawa ini," kira-kira begitu katanya, sambil menyinggung nama mantan PresidenSoeharto, nun sekitar 30 tahun lalu. Memang pendakian ke Semeru ini merupakan proyek kebanggaan Mapala FSUI 1969. Soe dengan keandalannya melobikiri-kanan, mampu mengumpulkan dana untuk subsidi penuh beberapa rekan yang mahasiswa bokek sejati.Singkat cerita, musibah sudah terjadi. Soe mungkin tidak membayangkan betapa kematiannya bersama Idhan Lubis bikinrepot setengah mati banyak orang. Kami yang ditinggaldalam suasana tak menentu, selama sembilan hari benar-benar hidup tidak kejuntrungan. Selain puasa sampaitiga hari karena kehabisan makanan, kami makin sedih saat menerima surat dari Tides via kurir, menanyakan keadaanSoe dan Idhan.Herman, kami sudah sampai di Gubuk Klakah hari Kamis pagi,sesudah jalan sepanjang malam (sekitar 20 jam). Pak Lurah menyanggupi tenaga bantuan 10 orang dan bekal. Mohon kabar bagaimana Soe, Idhan, dan Maman dll. secepatnya mendahuluirombongan ... Tides dan Wiwik 18-12-69.Saya pun terpilih menjadi kurir, mendahului rombongansambil membawa surat untuk Tides. Isinya apalagi kalau bukan minta bantuan tenaga dan bahan makanan. Herman pun menulis surat: Saya tunggu di Cemorokandang dan bermaksud  menunjukkan "site" tempat jenazah Soe dan Idhan ...kirimkan: gula/gula jawa, nasi, lauk, permen, pakaianhangat ... sebanyak mungkin! Akhirnya, semua bantuan tiba. Seluruh anggota rombongan baru berkumpul lagi pada tanggal 22 Desember di Malang.Kurus dan kelelahan. Maman terpaksa dirawat khusus beberapa hari di RS Claket. Sedangkan Soe dan Idhan,terbaring kesepian di dalam peti jenazah masing-masing.Untuk terakhir kali, kami tengok Soe dan Idhan. Soe yang mati muda, terbujur kaku dengan kemeja tangan panjang

 putih lengkap dengan dasi hitam. Jenis barang yang tidak mungkin dipakai semasa hidupnya. Monyet tua yang dikurungKalau diingat-ingat, selama beberapa minggu sebelum keberangkatan dengan kereta api ke Jatim, Soe memang suka berkata aneh-aneh. Beberapa kali dia mengisahkankegundahannya tentang seorang kawan yang mati mudagara-gara ledakan petasan. Ternyata dalam buku hariannyadi CSD, Hok Gie menulis: "... Saya juga punya perasaanuntuk selalu ingat pada kematian. Saya inginngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru ...."
 
  Mingguan Bandung Mahasiswa Indonesia, mempersembahkan editorial khusus: ...Tanpa menuntut agar semua insan menjadi seorang Soe Hok-gie, kita hanya bisa berharap bahwa pemuda ini dapat menjadi model seorang pejuang tanpa pamrih ... kita membutuhkan orang seperti dia, sebagailonceng peringatan yang bisa menegur kita manakala kita melakukan kesalahan.Di luar negeri, berita kematian Soe sempat diucapkan DutaBesar RI Soedjatmoko, di dalam pertemuan The Asia Societyin New York, sebagai berikut: ... Saya ingin menyampaikan penghormatan pada kenangan Soe Hok-gie, salah seorangintelektual yang paling dinamis dan menjanjikan darigenerasi muda pasca kemerdekaan .... Komitmennya yang mutlak untuk modernisasi demokrasi, kejujurannya,kepercayaan dirinya yang teguh dalam perjuangan ... bagisaya ia memberikan suatu ilustrasi tentang adanyakemungkinan suatu tipe baru orang Indonesia, yang benar-benar asli orang Indonesia. Saya pikir pesan inilahyang telah disampaikannya kepada kita, dalam hidupnya yangsingkat itu.Kepada Ben Anderson, pakar politik Indonesia yang jugakawan lengket Soe, dalam salah satu surat terakhirnya, Soe menulis, ... Saya merasa semua yang tertulis dalam artikel-artikel saya adalah sejumput petasan. Dan semuanyaingin saya isi dengan bom!Dari cuplikan berbagai tulisan Soe, terasa sekali sikapdan pandangannya yang khas. Misalnya, Soe pernah menulis

 begini: Saya mimpi tentang sebuah dunia, di mana ulama - buruh - dan pemuda, bangkit dan berkata - stop semuakemunafikan, stop semua pembunuhan atas nama apa pun. Takada rasa benci pada siapa pun, agama apa pun, dan bangsaapa pun. Dan melupakan perang dan kebencian, dan hanyasibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.Khusus soal mahasiswa, menjelang lulus sebagai sejarawan,13 Mei 1969, Soe sempat menulis artikel Mimpi-mimpiTerakhir Seorang Mahasiswa Tua. Dalam uraian tajam itu, ia menyatakan: ... Beberapa bulan lagi saya akan pergi daridunia mahasiswa. Saya meninggalkan dengan hati berat dantidak tenang. Masih terlalu banyak kaum munafik yang berkuasa. Orang yang pura-pura suci dan mengatasnamakanTuhan ... Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermentalsok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa.Saat dirinya masuk korps dosen FSUI, secara blak-blakanSoe mengungkap ada dosen yang membolos 50% dari jatah jam kuliahnya. Bahkan ada dosen menugaskan mahasiswa menerjemahkan buku. Terjemahan mahasiswa itu dipakainyasebagai bahan pengajaran, karena sang dosen ternyata tidaktahu berbahasa Inggris.
 
 Masih di seputar mahasiswa, dalam nada getir, Soe menulis:.... Hanya mereka yang berani menuntut haknya, pantasdiberikan keadilan. Kalau mahasiswa Indonesia tidak berani menuntut haknya, biarlah mereka ditindas sampai akhirzaman oleh sementara dosen-dosen korup mereka.Khusus untuk wakil mahasiswa yang duduk dalam DPR GotongRoyong, Hok Gie sengaja mengirimkan benda peranti dandan.Sebuah sindiran supaya wakil mahasiswa itu nanti bisatampil manis di mata pemerintah. Padahal wakil mahasiswaitu teman-temannya sendiri yang dijuluki "politisi berkartu mahasiswa". Langkah Soe ini membuat merekaterperangah. Sayangnya, momentum ini kandas. Soe Hok Giekeburu tewas tercekik gas beracun di Puncak Mahameru.Berpolitik cuma sementaraJohn Maxwell dalam epilog naskah buku Mengenang SeorangDemonstran (November 1999), menulis begini, "Saya sadartelah menulis tentang seorang pemuda yang hidupnya berakhir tiba-tiba, dan terlalu dini dengan masa depanyang penuh dengan kemungkinan yang begitu luas."Kita telah memperhatikan bagaimana Soe Hok Gie terpana politik dan peristiwa nasional, setidak-tidaknya sejak masih remaja belasan tahun ... namun hasratnya terhadapdunia politik, diredam oleh penilaiannya sendiri bahwadunia politik itu pada dasarnya lumpur kotor. Semua orangseputar Soekarno dinilainya korup dan culas, sementara pimpinan partai dan politisi terkemuka, tidak lebih dari penjilat dan bermental "asal bapak senang", serta "yes men", atau sudah pasrah.Pandangan ini menjadi latar belakang pembelaan Soe akankekuatan moral dalam politik di awal tahun 1966.Keikutsertaannya dalam politik hanya untuk sementara. Pada pertengahan tahun yang sama, dia menyampaikan argumentasi bahwa sudah tiba saatnya bagi mahasiswa untuk mundur dariarena politik dan membiarkan politisi profesional bertugas, membangun kembali institusi politik bangsa."Demikian tulis Maxwell.Soe memang sudah bersikap. Dia memilih mendaki gunungdaripada ikut-ikutan berpolitik praktis. Dia memilih bersikap independen dan kritis dengan semangat bebas.Pikiran dan kritiknya tertuang begitu produktif dalam  pelbagai artikel di media cetak. Namun secara diam-diam,Soe ternyata juga menumpahkan unek-uneknya dalam bentuk puisi indah. Salah satunya Mandalawangi-Pangrango yangterkenal di kalangan pendaki gunung.Pemuda lajang yang sempat pacaran dengan beberapa gadis manis FSUI, selain kutu buku, macan mimbar diskusi,kambing gunung, tukang nonton film, juga penggemar beratfolksong (meski sama sekali tak becus bernyanyi merdu).Berbadan kurus nyaris kerempeng, di gunung makannyagembul.
 
 Bagi pemuda dan khususnya mahasiswa demonstran, masih ada potongan puisi Hok Gie yang sempat tercecer, baru munculdi harian Sinar Harapan 18 Agustus 1973. Judulnya "Pesan"dan cukilan pentingnya berbunyi:Hari ini aku lihat kembali Wajah-wajah halus yang kerasYang berbicara tentang kemerdekaaan

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Diberdayakan oleh Blogger.
Welcome to My Blog

- Copyright © Alvaro -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -