Posted by : Unknown Rabu, 12 Desember 2012



BAB II
PEMBAHASAN
GENDER DAN PERSAMAAN HAK LAKI- LAKI DAN PEREMPUAN

A.     Pengertian Sex, Gender dan Kodrat  
Sebelum  membicarakan  tentang  hak  perempuan  dalam  relasi  jender, terlebih  dahulu  penulis  menyampaikan  tentang  arti  perempuan  dan  relasi jender.  Kata perempuan dalam bahasa Arab diungkapkan dengan lafaz yang berbeda, antara lain mar`ah, imra`ah, nisa`, dan unsa. Kata mar`ah dan imra`ah  jamaknya nisa`.[1] Ada yang mengatakan bahwa akar kata nisa` adalah nasiya yang artinya lupa disebabkaan lemahnya akal. Akan tetapi pengertian ini kurang  tepat, karena tidak semua perempuan  akalnya lemah dan mudah lupa.
Sementara  kata  jender  berasal  dari  bahasa  Inggris, “Gender”,  berarti  “jenis  kelamin”.[2]  Arti    demikian  sebenarnya  kurang  tepat, karena  disamakan  dengan sex  yang berarti  jenis kelamin [3]. Hal  ini karena kata jender  termasuk  kosa  kata  baru,  sehingga  belum  ditemukan  di  dalam  Kamus Bahasa Indonesia. Tetapi kendatipun demikian, istilah tersebut biasa digunakan
Sex atau jenis kelamin adalah hal paling sering dikaitkan dengan Gender dan  kodrat.  Dikarenakan  adanya  perbedaan  jenis  kelamin,  perempuan dan laki-laki secara kodrat berbeda satu sama lain Hubungan antara jenis kelamin  (sex)  dengan  kodrat,  secara  sederhana  dapat  kita  ilustrasikan  seperti ini: 
Ketika dilahirkan, laki-laki ataupun perempuan secara biologis memang berbeda. Laki-laki memiliki penis dan buah zakar sedangkan perempuan memiliki  vagina.  Pada  saat  mulai  tumbuh  besar,  perempuan  mulai terlihat memiliki payudara, mengalami haid dan memproduksi sel telur. Sementara  laki-laki  mulai  terlihat  memiliki  jakun  dan  memproduksi sperma.  Secara  alamiah,  perbedaan-perbedaan  tersebut  bersifat  tetap, tidak  berubah  dari  waktu  ke  waktu  dan  tidak  dapat  dipertukarkan fungsinya  satu  sama lain.  Hal-hal seperti  ini  yang kemudian  kita sebut dengan kodrat. Berdasarkan hal tersebut, logikanya seseorang dapat dikatakan ‘melanggar kodrat’  jika  mencoba  melawan  atau  mengubah  fungsi-fungsi  biologis yang ada pada dirinya. [4]
Pembedaan antara yang kodrat dan yang bukan kodrat, dalam relasi laki-laki dan perempuan merupakan konsep penting dalam membahas isu-isu kekerasan terhadap perempuan. Yang kodrat biasa disebut sebagai konsep sex. Sementara yang bukan kodrat biasa disebut sebagai konsep gender. Pemahaman dan pembedaan konsep sex dan konsep gender diperlukan untuk melakukan analisis dalam memahami persoalan-persoalan ketidakadilan yang menimpa perempuan. Hal ini,  sebagaimana dikatakan Mansour Fakih, karena ada kaitan erat antara perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dalam mengurai struktur ketidakadilan masyarakat secara luas.  (Mansour Fakih, 2001, h. 3). [5]
Biasanya, kebanyakan orang mengidentifikasi perempuan sebagai orang yang bersifat feminin; lemah lembut, cantik, gemulai, suka menangis, emosional, pengasih, pasif dalam banyak hal, mengalah, beraninya di belakang. Karena sifatnya yang feminin, masyarakat memberikantempat yang lebih aman bagi perempuan, yaitu di dalam rumah dengan kerja-kerja domestic dan reproduksi. Merawat rumah, mencuci, membersihkan, mensetrika, memasak, melayani suami dan anggota keluarga, hamil, melahirkan dan menyusui dengan ASI. Atau dalam istilah Jawa macak, manak dan masak. Perempuan tidak perlu bekerja, ia harus menjadi tanggungan anggota laki-laki. Jikapun bekerja, ia hanya dianggap sebagai pelengkap atau pekerja tambahan. Untuk melengkapi kebutuhan rumah tangga belaka. Inilah yang disebut dengan peran gender perempuan.
Sementara jenis kelamin laki-laki diidentikkan dengan sifat-sifat maskulin; kuat, gagah, perkasa, aktif, suka merebut, berani, menantang, siap melawan siapapun dan menghadapi apapun. Karenasifat-sifatnya yang demikian, laki-laki harus berada di wilayah luar rumah atau publik dan untuk kerja-kerja produksi. Atau kerja-kerja yang menghasilkan uang untuk dibawa masuk ke keluarga.Berdagang, berkebun, bekerja di pabrik, bepergian jauh, beraktivitas politik dan berperang. Karena sifatnya yang maskulin, mereka juga harus menanggung beban keluarga. Karena itu, jika bekerja, laki-laki harus diperhitungkan sebagai yang utama, diberi gaji penuh, dan diperhitungkan sebagai orang yang menanggung beban anggota keluarga yang lain. Inilah yang disebut dengan peran gender laki-laki. [6]
Gender  sama  sekali  berbeda  dengan  pengertian  jenis  kelamin.  Gender bukan  jenis  kelamin.  Gender  bukanlah  perempuan  ataupun  laki-laki. Gender  hanya  memuat  perbedaan  fungsi  dan  peran  sosial  laki-laki  dan perempuan, yang terbentuk oleh lingkungan tempat kita berada. Gender  tercipta melalui proses  sosial  budaya  yang panjang  dalam  suatu lingkup masyarakat tertentu, sehingga dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Misalnya, laki-laki yang memakai tato di badan dianggap hebat oleh masyarakat dayak, tetapi di lingkungan komunitas lain seperti Yahudi misalnya, hal tersebut merupakan hal yang tidak dapat diterima. Gender  juga berubah  dari  waktu  ke  waktu  sehingga  bisa  berlainan  dari satu generasi ke generasi berikutnya. Contohnya, di masa lalu perempuan yang memakai celana panjang dianggap tidak pantas sedangkan  saat  ini dianggap hal yang baik untuk perempuan aktif. 
Peran  Gender  tidak  akan mengubah  kodrat  manusia,  tidak  mengubah  jenis  kelamin,  tidak mengubah fungsi-fungsi biologis dalam diri perempuan menjadi laki-laki dan tidak  juga  dimaksudkan  untuk mendorong perempuan  mengubah dirinya menjadi seorang laki-laki, ataupun sebaliknya.
B.     Gender Tidak Melawan Kodrat
Mengapa selama ini orang sering mencampuradukkan pengertian Gender dan  kodrat?  Dikarenakan  perbedaan  kodrat  yang  dimiliki  perempuan dan  laki-laki  tersebut,  masyarakat  mulai  memilah-milah  peran  sosial seperti apa yang (dianggap) pantas untuk laki-laki dan bagian mana yang (dianggap)  sesuai untuk perempuan. Misalnya,  hanya karena kodratnya perempuan mempunyai rahim dan bisa melahirkan anak, maka kemudian berkembang anggapan umum di masyarakat bahwa perempuanlah yang bertanggung  jawab  mengurus  anak.  Selanjutnya,  anggapan  tersebut semakin  berkembang  jauh  dimana  perempuan  dipandang tidak  pantas sibuk  di  luar  rumah  karena  tugas  perempuan  mengurus  anak  akan terbengkalai.  Kebiasaan  ini  lama  kelamaan  berkembang  di  masyarakat menjadi suatu tradisi dimana perempuan dianalogikan dengan pekerjaan-pekerjaan domestik dan ‘feminim’ sementara laki-laki dengan pekerjaan-pekerjaan publik dan ‘maskulin’.
Peran  Gender  adalah  peran  yang  diciptakan  masyarakat  bagi  lelaki dan  perempuan.  Peran  Gender  terbentuk  melalui  berbagai  sistem  nilai termasuk nilai-nilai adat, pendidikan, agama, politik, ekonomi, dan lain sebagainya.  Sebagai  hasil  bentukan  sosial,  tentunya  peran  Gender  bisa berubah-ubah dalam waktu, kondisi  dan  tempat  yang  berbeda sehingga sangat  mungkin  dipertukarkan  diantara  laki-laki  dan  perempuan. Mengurus anak, mencari  nafkah,  mengerjakan pekerjaan rumah  tangga (memasak, mencuci, dll) adalah peran yang bisa dilakukan oleh laki-laki maupun  perempuan,  sehingga  bisa  bertukar  tempat  tanpa  menyalahi kodrat.  Dengan  demikian,  pekerjaan-pekerjaan  tersebut  bisa  kita istilahkan sebagai peran Gender.
Jika  peran  Gender  dianggap  sebagai  sesuatu  yang  dinamis  dan  bisa disesuaikan dengan kondisi yang dialami seseorang, maka tidak ada alasan lagi  bagi  kita  untuk  menganggap  aneh  seorang  suami  yang  pekerjaan sehari-harinya memasak dan mengasuh anak-anaknya, sementara istrinya bekerja di luar rumah. Karena di lain waktu dan kondisi, ketika sang suami memilih  bekerja  di  luar  rumah dan  istrinya  memilih  untuk  melakukan tugas-tugas rumah tangga, juga bukan hal yang dianggap aneh.  Dalam  masyarakat  tradisional-patriarkhi  (yaitu  masyarakat  yang  selalu memposisikan  laki-laki  lebih  tinggi  kedudukan  dan  perannya  dari perempuan)  kita  dapat  melihat  dengan  jelas  adanya  pemisahan  yang tajam  bukan  hanya  pada  peran  Gender  tetapi  juga  pada  sifat  Gender. Misalnya, laki-laki dituntut untuk bersifat pemberani dan gagah perkasa sedangkan perempuan harus bersifat lemah lembut dan penurut. Padahal, laki-laki  maupun  perempuan  adalah  manusia  biasa,  yang  mempunyai sifat-sifat tertentu yang dibawanya sejak lahir. Sifat lemah lembut, perasa, pemberani, penakut, tegas, pemalu dan lain sebagainya, bisa ada pada diri siapapun, tidak peduli  apakah dia perempuan atau laki-laki. Sayangnya, konstruksi  sosial  di  masyarakat  merubah pandangan  ‘netral’  pada  sifat-sifat Gender tersebut.
Sejak kecil, anak laki-laki sudah dipaksa untuk ‘tidak manusiawi’ dimana mereka  dilarang  untuk  menangis,  bersikap  lemah  lembut  dan  pemalu. Ciri dan nilai-nilai seperti itu lama kelamaan berkembang di masyarakat menjadi  norma  yang  dikuatkan,  disosialisasikan,  dan  dipertahankan, bahkan  terkadang  dipaksakan  sehingga  dianggap  kemudian  sebagai tradisi.  Konsep  subyektif  tersebut  lama-kelamaan  berkembang  dalam berbagai  alur  kehidupan  sosial  masyarakat yang  mengakibatkan adanya ketimpangan antara peran dan kedudukan perempuan dengan laki-laki. Ketimpangan peran Gender seperti ini membatasi kreativitas, kesempatan dan  ruang  gerak  kedua  belah  pihak,  baik  itu  laki-laki  maupun perempuan.  Contohnya,  perempuan  yang  mempunyai  kemampuan dalam bidang otomotif tidak bisa bebas menggunakan keahliannya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai supir truk atau montir, karena dianggap bukan  pekerjaan  perempuan.  Demikian  pula  halnya  dengan  laki-laki yang terampil menghias diri tidak mau menjadi perias pengantin karena dianggap bukan jenis pekerjaan laki-laki.
Seorang  suami  malu  untuk  bekerja  di  sektor  domestik  karena  takut dianggap  bukan  laki-laki  sejati.  Padahal,  suami  yang  memasak  dan mengasuh  anak  tidak  akan  berubah  fungsi  biologisnya  menjadi perempuan,  demikian  pula  sebaliknya,  perempuan  yang  mencari nafkah  menjadi  supir  tidak  akan  berubah  menjadi  seorang  laki-laki  di keesokan  harinya.  Jadi  jelas  bahwa,  bertukar  peran  sosial  antar  laki-laki  dan  perempuan  sama  sekali  tidak  menyalahi  atau  melawan  kodrat. Berbagi  dan  bertukar  peran  Gender  dalam kehidupan  sehari-hari secara harmonis dapat membangun  masyarakat yang  lebih  terbuka dan  maju, karena semua orang mempunyai kesempatan, peluang dan penghargaan yang sama saat mereka memilih pekerjaan yang diinginkannya. Laki-laki maupun perempuan tidak dibatasi ruang geraknya untuk memanfaatkan kemampuannya  semaksimal  mungkin  di  bidang  pekerjaan  yang  sesuai dengan  minat  dan  keahliannya  Dengan  demikian,  peran  Gender  yang seimbang  memicu  semakin  banyak  sumberdaya  manusia  produktif di  masyarakat,  yang  dapat  menyumbangkan  kemampuannya  untuk kemajuan bersama.


C.     Kesetaraan Gender di Tengah  Masyarakat
Tidak  sedikit  orang  yang  masih  berpikir  bahwa  membicarakan kesetaraan  Gender  adalah  sesuatu  yang  mengada-ada.  Hal  yang  terlalu dibesar-besarkan.  Kelompok  orang yang  berpikir konservatif seperti  ini menganggap bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki dalam keluarga maupun dalam masyarakat memang harus berbeda. ‘Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, percuma menghabiskan biaya saja, toh nantinya akan kembali juga masuk dapur’
Pernah  mendengar  ungkapan seperti itu? Hal  ini  masih kerap terlontar saat  dipertanyakan  apakah  anak  perempuan  atau  laki-laki  yang  akan diberikan  kesempatan  untuk  meneruskan  sekolah.  Dari  ungkapan tersebut  sudah  dapat  kita  lihat  ada  dua  hal  yang  mencerminkan  tidak adanya kesetaraan Gender yaitu:
ü  Perempuan tidak  diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk  mendapatkan  ilmu  pengetahuan  yang  berguna  bagi  dirinya dan lingkungannya.
ü  Laki-laki tidak diberikan penghargaan yang sama dengan perempuan jika mereka memilih ‘masuk  dapur’. Pemikiran  seperti  ini  umumnya  muncul  terutama  pada  kelompok masyarakat tradisional-patriarkhi yang masih menganggap  bahwa sudah kodratnya perempuan untuk melakukan pekerjaan di dapur.
Sebagaimana yang telah dibahas di bagian muka makalah  ini, sekali lagi ditegaskan bahwa peran Gender tidak sama dengan kodrat. Bukan kodratnya perempuan  untuk  masuk  dapur,  karena  kegiatan  memasak  di  dapur tidak  ada kaitannya dengan ciri-ciri biologis yang ada pada perempuan. Kegiatan  memasak  di  dapur  (atau  kegiatan  domestik  lainnya)  adalah suatu bentuk pilihan pekerjaan dari sekian  banyak jenis pekerjaan yang tersedia (misalnya guru, dokter, pilot, supir, montir, pedagang, dll), yang tentu  saja  boleh  dipilih  oleh  perempuan  ataupun  laki-laki.  Kesetaraan Gender  memberikan  pilihan,  peluang  dan  kesempatan  tersebut  sama besarnya pada perempuan dan laki-laki.
Supaya lebih jelas  bagaimana kita bisa melihat kesetaraan Gender terjadi dalam  lingkup  kegiatan  sehari-hari,  berikut  ilustrasi  sederhana  yang terjadi pada dua keluarga:
Yang  pertama  adalah  seorang  istri  yang  memilih  bekerja  di  rumah dan  suaminya  memilih  bekerja  buruh  di  pabrik.  Pada  saat  mengambil keputusan di keluarga, istri bebas menentukan apakah dia ingin bekerja di luar atau di dalam rumah. Demikian juga sang suami tidak keberatan untuk bertukar peran suatu saat istrinya mempunyai kesempatan bekerja di  pabrik.  Dalam  hal  ini  kita  bisa  mengatakan  bahwa  telah  tercipta kesetaraan  Gender  di  dalam  keluarga  tersebut.  Istri tidak dipaksa  suami untuk  tinggal di  rumah dan  suami  tidak  diharuskan bekerja  di  pabrik. Mereka  memilih  peran  tersebut  atas  dasar  kemampuan  dan  keinginan masing-masing  pihak,  tidak  ada  paksaan  ataupun  tekanan  dari  istri maupun  suami.  Kesetaraan  Gender  tercipta  manakala  istri  dan  suami mempunyai  peluang  yang  sama  untuk  memilih  jenis  pekerjaan  yang disukainya dan mempunyai posisi yang sama saat mengambil keputusan dalam keluarga.
Yang kedua, adalah seorang perempuan yang bekerja sebagai pengacara. Orang  menganggap  dia  sudah  sadar  Gender,  berpikiran  modern  dan sudah menikmati kesetaraan Gender dalam keluarganya. Penampilannya yang tegas dan gaya bicaranya lantang di depan publik, seolah-olah telah menghapus  bayangan  stereotype  perempuan  tradisional.  Padahal  yang  terjadi sebenarnya adalah dia tidak memilih pekerjaan menjadi pengacara, melainkan  terpaksa  menjadi  pengacara  karena  suaminya  seorang pengusaha  yang  menginginkan  sang  istri  menangani  urusan-urusan  hukum  dengan  klien-klien  bisnisnya.  Sang  istri selalu  bekerja  dibawah tekanan suami, tidak mempunyai kebebasan mengeluarkan pendapatnya dan  tidak mempunyai  kesempatan  untuk  memilih  pekerjaan  lain  yang diinginkannya.
Kita  seringkali  membuat  dan  menilai  sesuatu  hanya  dari  penampakan luarnya  saja.  Demikian  pula  halnya  dengan  kesetaraan  Gender.  Orang sering  menghubung-hubungkan  kesetaraan  Gender  dengan  jenis pekerjaan  yang  dilakukan  oleh  perempuan.  Namun,  melihat  contoh  kedua  keluarga  di  atas, jelas  bagi  kita  bahwa  jenis  pekerjaan  seseorang ataupun  tempat  bekerja  yang  dipilih  oleh  seseorang  bukanlah  ukuran yang dapat  menunjukkan adanya kesetaraan Gender. Kesetaraan Gender ditunjukkan  dengan  adanya kedudukan yang setara  antara laki-laki dan perempuan di dalam pengambilan keputusan dan di dalam memperoleh manfaat dari peluang-peluang yang ada di sekitarnya. Kesetaraan Gender memberikan  penghargaan dan kesempatan  yang sama  pada perempuan dan  laki-laki  dalam  menentukan  keinginannya  dan  menggunakan kemampuannya secara maksimal di berbagai bidang. Tidak peduli apakah dia seorang ibu rumah tangga, presiden, buruh pabrik, supir, pengacara, guru ataupun profesi  lainnya, jika kondisi-kondisi tersebut tidak terjadi pada  dirinya  maka  dia  tidak  dapat  dikatakan  telah  menikmati  adanya kesetaraan Gender.
Di lain pihak, berkembangnya isu  Gender  di masyarakat  dan maraknya inisiatif-inisiatif  yang memperjuangkan kesetaraan Gender juga memicu sebagian  orang menjadi  berpikir  dikotomis. Yang dimaksud adalah  cara berpikir  yang  menempatkan  perempuan  dan  laki-laki  pada  dua  kubu yang  berseberangan. Perempuan ditempatkan pada kubu  yang  teraniaya dan  lemah,  sedangkan  laki-laki  dipandang  sebagai  kubu  penguasa yang  menjajah  perempuan. Hasil dari  pemikiran  seperti ini tidak  akan memunculkan  perilaku  sadar  Gender  dan  tidak  akan  mendukung  ke arah  terjadinya  kesetaraan  Gender.  Yang  akan  muncul  justru  ‘perang’ antara  perempuan  pada  kubu  ‘teraniaya’  yang  merasa  terjajah,  ingin memberontak  dan  menguasai  laki-laki,  sementara  kaum  laki-laki  pada kubu  ‘penguasa’  yang  takut  kekuasaannya  diambil  dan  selalu  khawatir terhadap  dominasi  kaum  perempuan.  Yang  terjadi  selanjutnya  adalah terjadinya    pertarungan  antara  kubu  perempuan  dan  laki-laki  tanpa jelas  apa  yang  sebenarnya  diperdebatkan.  Kondisi  seperti  ini  tentunya tidak  mendukung  sama  sekali  pada  tujuan  utama  kita  membicarakan ‘kesetaraan Gender’.
Terminologi  ‘kesetaraan  Gender’  seringkali  disalahartikan  dengan mengambil alih pekerjaan dan tanggung jawab laki-laki.  ‘Katanya  mau  disamakan  dengan  laki-laki,  kalau begitu  panjat  atap  dan  betulkan genteng yang bocor, saya tidak perlu melakukan pekerjaan itu lagi sekarang’ ... Bukan  hanya  sekali  atau  dua  kali  ungkapan  seperti  itu  muncul  dalam forum diskusi mengenai Gender. Kondisi seperti ini menyiratkan adanya kesimpangsiuran  dalam  memaknai  kesetaraan  Gender.  Kesetaraan Gender  bukan  berarti  memindahkan  semua  pekerjaan  laki-laki  ke pundak  perempuan,  bukan  pula  mengambil  alih  tugas  dan  kewajiban seorang suami oleh istrinya.  Jika hal ini  yang  terjadi,  bukan  ‘kesetaraan’ yang  tercipta  melainkan  penambahan  beban  dan  penderitaan  pada perempuan.  Inti  dari  kesetaraan  Gender  adalah  menganggap  semua orang pada kedudukan yang sama dan sejajar (equality), baik itu laki-laki maupun perempuan. Dengan mempunyai kedudukan yang sama, maka setiap individu mempunyai hak-hak  yang  sama, menghargai  fungsi dan tugas masing-masing,  sehingga  tidak  ada  salah  satu pihak  yang mereka berkuasa,  merasa  lebih baik  atau lebih  tinggi  kedudukannya dari pihak lainnya.
Singkatnya,  inti  dari  kesetaraan  Gender  adalah  kebebasan  memilih peluang-peluang  yang  diinginkan  tanpa  ada  tekanan  dari  pihak  lain, kedudukan dan kesempatan yang sama di dalam pengambilan keputusan dan  di  dalam  memperoleh  manfaat  dari  lingkungan.    Bukankah keseimbangan  selalu  menciptakan  kehidupan  manusia  menjadi  lebih baik? [7]

D.     Pesamaan Hak Laki Laki Dan Perempuan Dalam Islam
Dalam Islam banyak sekali Ayat Al Quran menjelaskan tentang persamaan hak antara  laki- laki dan perempuan , antara lain:
a.       Kesetaraan di Hadapan Allah
Sebagaimana diketahui, bahwasanya Allah SWT akan memberikan pahala yang sama kepada laki- laki maupun perempuan, sebagaimana firman allah dalam Surat An Nisa’ ayat 124 yang berbunyi :


 



Artinya: Dan Barang siapa mengerjakan amal kebajikan, baiklaki-laki maupun perempuan, sedang dia beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi  sedikit pun. [Q.S. al-Nisâ’ (4): 124].[8]


 






Artinya : Allah menjanjikan kepada orang- orang mukmin laki- laki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang mengalir di bawahnya  sungai-sungai, mereka kekal  di dalamnya, dan (mendapat) tempat t yang baik di surga ‘Adn. Dan keridaan Allah lebih besar; itulah kemenangan yang agung [Q.S. al-Tawbah (9): 72]. [9]



Artinya : Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka pasti akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan  akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [Q.S. al- Nahl (16): 97].[10]

Ketiga ayat di atas menerangkan bahwa laki-laki dan perempuan yang mengerjakan amal saleh sama-sama akan mendapatkan pahala di sisi Allah berupa surga, kehidupan yang baik, serta balasan yang berlimpah dari Allah Swt. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam mendapatkan balasan kebaikan. Keduanya dapat bersaing dan berlomba melakukan amal kebaikan, dan janji balasan kebaikan yang sama akan didapatkan dari Allah. Dengan demikian, perempuan memiliki potensi yang sama dengan laki-laki untuk berbuat baik serta mendapatkan tempat tertinggi di hadapan Allah. Namun, mengapa dalam sebagian masyarakat ada yang menempatkan perempuan sebagai manusia yang berbeda dari laki-laki. Perempuan juga tidak diberi pelajaran yang sama dalam hal agama sebagaimana laki-laki. Padahal, Allah menyamakan laki- laki dan perempuan.

 Perbedaan mereka hanya terletak pada tingkat ketakwaannya [Q.S. al-Hujurât (49): 13:


 


Adalah Rabi’ah al-Adawiyah sosok perempuan yang mendapatkan kedudukan tinggi di hadapan Allah, padahal dia tadinya seorang budak. Bilal seorang budak yang dimerdekakan juga memiliki keutamaan di sisi Allah karena ketakwaannya. Maka jelaslah bahwa syariat mendudukkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sama untuk memikul beban dan tanggung jawab. Keduanya, laki-laki dan perempuan, sama-sama mendapatkan pahala atas segala amal salehnya dan mendapat azab jika berbuat buruk. Laki-laki dan perempuan sama di hadapan syariat dalam hal memikul taklîf dan tanggung jawab atas segala perbuatannya.

b.      Kesetaraan dalam Beribadah
Dengan adanya persamaan untuk berbuat baik di antara laki-laki dan perempuan, maka tidak ada perbedaan di antara keduanya dalam hal ibadah, seperti disebutkandalam Q.S. al-Ahzâb (33): 35:




Artinya : Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki- laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama)Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.

Ayat di atas menegaskan bahwa ada sepuluh macam  kesetaraan, di antaranya kesetaraan dalam beribadah yaitu bersedekah, berpuasa, dan berzikir. Secara umum disebutkanlaki-laki dan perempuan muslim. Secara khusus, mukmin adalah yang mengimani rukun iman dan muslim adalah yang menunaikan rukun Islam, yang meliputi dua kalimat  syahadat dan empat macam ibadah khusus yaitu salat, zakat, puasa, dan ibadah haji. Ayat tersebut juga menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mendapat ampunan dan pahala yang besar, sepanjang ia melakukan amalan-amalan yang disebutkan dalam ayat tersebut.
Perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak menjadi prinsip perbedaan dan tidak menunjukkanrendahnya derajat perempuan. Dengan kesetaraan beribadah antara laki-laki dan perempuan, maka tidak selayaknya ada perbedaan materi pelajaran yang disampaikan kepada laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan harus mendapatkan pelajaran yang sama dalam semua bidang, termasuk masalah materi ibadah.
Tidak boleh ada perbedaan materi pelajaran antara siswa laki-laki dan siswa perempuan. Adanya menstruasi bagi perempuan yang datang setiap bulan bukan berarti ada perbedaan yang diskriminatif dan tingkatan berbeda antara laki-laki dan perempuan. Karena, ibadah itu banyak bentuk dan aktivitasnya. Dalam keadaan menstruasi, seorang perempuan dapat saja menjalankan ibadah selain salat dan tawaf serta dapat melakukan ibadah sosial, dan hal ini termasuk bagian dari perbuatan terpuji. Banyak lagi bentuk ibadah yang dapat dilakukan pada saat perempuan mengalami menstruasi.[11]

E.      AURAT PEREMPUAN
Abu hanifah dalam suatu riwayat, Asy Syafi’I dalam satu riwayatnya, Malik, Al Hadi dan Al Qasim dalam salah satu pendapatnya, menetapkan bahwa aurat perempuan adalah seluruh badannya selain muka dan telapak tangannya. Menurut pendapat Abu Hanifah dalam suatu riwayat lain, Ats Tsauri dan Abu ‘Abbas, kaki dan tempat gelang bukan aurat.
Ahmad dan Daud berpendapat, bahwa aurat perempuan adalah seluruh badannya selain muka. Sebagian pengikut Asy Syafi’iyah berpendapat, seluruh badan perempuan aurat, tidak ada yang dikecualikan.
An Nawawy mengatakan, “ aurat perempuan merdeka adalah seluruh badannya, selain muka dan dua telapak tangan. “ Madzhab malik menetapkan aurat perempuan adalah seluruh badannya, selain muka dan kedua telapak tangan, demikian pula pendapat Al Auza’y dan Abu Tsaur. Abu Hanifah dan Al Muzani berpendapat, bahwa kedua tapak kaki juga aurat. Menurut pendapat Ahmad, menurut Hikayat Al Mawardi. Al Mutawalli dan Abu Bakar ibn Abdirrahman AlQari, bahwa aurat perempuan adalah seluruh badannya.
Di dalam surat An Nur ayat 31 Allah SWT berfirman :
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya (ketika berjalan) agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.

Ayat ini menerangkan tugas perempuan berkerudung dan menyembunyikan hiasan badan dari penglihatan, atau pandangan orang yang tidak dibolehkan memandang aurat atau hiasannya.
Pada tahun kelima Hijriyah, Allah memerintahkan isteri-isteri Nabi SAW meletakkan hijab. Allah SWT berfirman dalam surat Al Ahzab ayat 53  :
… Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. cara yang demikian itu lebih Suci bagi hatimu dan hati mereka…
Apakah yang dimaksud dengan hijab ? tirai, tabir, atau layar yang dibentangkan di tengah- tengah majelis sebelahnya laki- laki dan sebelahnya perempuan sebagainya yang dilazimkan sekarang ? ketahuilah bahwa hijab ada tiga bentuk :
1.       Mahram. Yakni tidak diperbolehkan seorang laki-laki duduk di tempat yang terasing dengan seorang perempuan, melainkan ada yang beserta mereka, mahram (ialah orang yang tidak boleh mengawininya). Tegasnya, jika tidak ada dalam rumah, atau kamar seorang mahram bagi perempuan, terlaranglah kita menemuinya atau duduk berbicara dengan dia. Jika kita perlu bertanya atau meminta sesuatu kepdanya, hendaklah kita berdiri di luar rumah atau kamar.
Hijab yang dikehendaki ayat di atas ialah mahram, atau suatu penghalang antara perempuan dengan kita, hal ini khusus ketika berhadapan muka dengan seorang di suatu tempat yang tidak terlihat pandangan umum.
Nabi SAW bersabda “ janganlah seorang laku- laki berkhalwat dengan seorang perempuan (duduk berdua di tempat sepi), melainkan harus ada mahram (seorang kerabat) perempuan yang tidak boleh mengawini perempuan tersebut ( HR. Al Bukhari)
Hijab ini mengenai isteri- isteri nabi dan lainnya, walaupun lahirnya hanya mengenai isteri- isteri nabi SAW.
2.       Menutup semua badan perempuan selain muka dan telapak tangan dan dua kaki. Allah SWT berfirman :
“Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya(Jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada ) ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. Al Ahzab Ayat 59)

Dalam surat Al Ahzab Allah SWT memerintahkan perempuan menutup dirinya dengan jilbab, supaya tertutup bagian badannya yang tidak dapat ditutupi oleh bajunya, dan supaya tertutup bentuk dadanya sebab- sebab yang demikian, tidak pantas kelihatan.
Sebenarnya yang dimaksud dengan menutup aurat, ialah menutupi anggota dengan cara menghilangkan perhatian orang yang melihatnya. Apabila seseorang perempuan meletakkan di badannya baju kebayanya, padahal terang benar bentuk payudaranya, berarti mereka tidak menutup aurat, karena kebayanya tidak menghilangkan ketertarikan atau perhatian manusia yang melihatnya.
Jilbab ialah kain besar yang dipakai perempuan untuk menutupi baju dan sarungnya.
Dalam surat An Nur, Allah mencegah perempuan memperlihatkan hiasannya dengan sengaja. Hiasan yang dimaksud adalah melengkapi semua yang menambah keindahan dan kecantikan, baik kalung, giwang, gelang, peniti dada, bahkain kain. Untuk menutupi ini di mata umum ketika berjalan di muka umum 9 tempat ramai ), itulah sebabnya diperintahkan memakai julbab ketika keluar rumah.
Mengingat hal ini tidak layak bagi perempuan- perempuan Islam, setelah memakai kerudung yang terbuat dari sutera tipis, dan memakai penjepit kudungnya sebuah rencong emas, atau tidak. Dengan demikian berarti menutup kepala, memperlihatkan hiasan. Menutupi kepala diperintahkan. Menutup hiasan diperintahkan, menutup bentuk badan dan hiasan- hiasan pun diperintahkan juga ketika pergi ke luar rumah [12]


[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab- Indonesia, (Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1989), h. 415
[2] John  M.  Echols  dan  Hassan  Shadily,  Kamus  Inggris  Indonesia,  (Jakarta:  Gramedia,  1995), cet. ke-21, h. 265.
[3] Sex diartikan dengan perkelaminan, dua jenis kelamin, lihat  Ibid.,  h. 517.
[4] Dede William- de Vries, Gender Bukan Tabu : Catatan Perjalanan Fasilitasi Kelompok Perempuan di Kambi, (Bogor : Center For International Forestry Research (CIFOR), h. 3
[5] Faqihuddin Abdul Kodir dkk, Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta : Komnas Perempuan, 2008 ),h. 11
[6] Ibid, h. 12
[7] Dede William- de Vries, Op.Cit, h. 3-4
[8] Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahan, (Bogor : PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2007), h. 98
[9] Ibid, h. 198
[10] Ibid, h. 278
[11] Noordjannah Djohantini dkk, Memecah Kebisuan : Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan, ( Jakarta : Komnas Perempuan, 2009), h. 115-119
[12] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Koleksi hadits- Hadits hukum, Jilid 1, ( Semarang : PT. Pustaka Rizki putra, 2002), h. 423-425

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Diberdayakan oleh Blogger.
Welcome to My Blog

- Copyright © Alvaro -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -