Posted by : Unknown
Rabu, 12 Desember 2012
BAB
II
PEMBAHASAN
GENDER
DAN PERSAMAAN HAK LAKI- LAKI DAN PEREMPUAN
A.
Pengertian
Sex, Gender dan Kodrat
Sebelum membicarakan
tentang hak perempuan
dalam relasi jender, terlebih dahulu
penulis menyampaikan tentang
arti perempuan dan
relasi jender. Kata perempuan
dalam bahasa Arab diungkapkan dengan lafaz yang berbeda, antara lain mar`ah,
imra`ah, nisa`, dan unsa. Kata mar`ah dan imra`ah jamaknya nisa`.[1]
Ada yang mengatakan bahwa akar kata nisa` adalah nasiya yang artinya lupa
disebabkaan lemahnya akal. Akan tetapi pengertian ini kurang tepat,
karena tidak semua perempuan akalnya
lemah dan mudah lupa.
Sementara kata “jender” berasal
dari bahasa Inggris, “Gender”, berarti
“jenis kelamin”.[2] Arti
demikian sebenarnya kurang
tepat, karena disamakan dengan sex
yang berarti jenis kelamin [3].
Hal ini karena kata jender termasuk
kosa kata baru,
sehingga belum ditemukan
di dalam Kamus Bahasa Indonesia. Tetapi kendatipun
demikian, istilah tersebut biasa digunakan
Sex atau jenis kelamin
adalah hal paling sering dikaitkan dengan Gender dan kodrat.
Dikarenakan adanya perbedaan
jenis kelamin, perempuan dan laki-laki secara kodrat berbeda
satu sama lain Hubungan antara jenis kelamin
(sex) dengan kodrat,
secara sederhana dapat
kita ilustrasikan seperti ini:
Ketika dilahirkan, laki-laki
ataupun perempuan secara biologis memang berbeda. Laki-laki memiliki penis dan
buah zakar sedangkan perempuan memiliki
vagina. Pada saat
mulai tumbuh besar,
perempuan mulai terlihat memiliki
payudara, mengalami haid dan memproduksi sel telur. Sementara laki-laki
mulai terlihat memiliki
jakun dan memproduksi sperma. Secara
alamiah, perbedaan-perbedaan tersebut
bersifat tetap, tidak berubah
dari waktu ke
waktu dan tidak
dapat dipertukarkan
fungsinya satu sama lain.
Hal-hal seperti ini yang kemudian
kita sebut dengan kodrat. Berdasarkan hal tersebut, logikanya seseorang
dapat dikatakan ‘melanggar kodrat’
jika mencoba melawan
atau mengubah fungsi-fungsi
biologis yang ada pada dirinya. [4]
Pembedaan
antara yang kodrat dan yang bukan kodrat, dalam relasi laki-laki dan perempuan
merupakan konsep penting dalam membahas isu-isu kekerasan terhadap perempuan.
Yang kodrat biasa disebut sebagai konsep sex. Sementara yang bukan kodrat biasa
disebut sebagai konsep gender. Pemahaman dan pembedaan konsep sex dan konsep
gender diperlukan untuk melakukan analisis dalam memahami persoalan-persoalan
ketidakadilan yang menimpa perempuan. Hal ini, sebagaimana dikatakan Mansour Fakih, karena
ada kaitan erat antara perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan
gender (gender inequalities) dalam mengurai struktur ketidakadilan masyarakat
secara luas. (Mansour Fakih, 2001, h.
3). [5]
Biasanya,
kebanyakan orang mengidentifikasi perempuan sebagai orang yang bersifat
feminin; lemah lembut, cantik, gemulai, suka menangis, emosional, pengasih,
pasif dalam banyak hal, mengalah, beraninya di belakang. Karena sifatnya yang feminin,
masyarakat memberikantempat yang lebih aman bagi perempuan, yaitu di dalam
rumah dengan kerja-kerja domestic dan reproduksi. Merawat rumah, mencuci,
membersihkan, mensetrika, memasak, melayani suami dan anggota keluarga, hamil,
melahirkan dan menyusui dengan ASI. Atau dalam istilah Jawa macak, manak dan
masak. Perempuan tidak perlu bekerja, ia harus menjadi tanggungan anggota laki-laki.
Jikapun bekerja, ia hanya dianggap sebagai pelengkap atau pekerja tambahan.
Untuk melengkapi kebutuhan rumah tangga belaka. Inilah yang disebut dengan
peran gender perempuan.
Sementara
jenis kelamin laki-laki diidentikkan dengan sifat-sifat maskulin; kuat, gagah,
perkasa, aktif, suka merebut, berani, menantang, siap melawan siapapun dan
menghadapi apapun. Karenasifat-sifatnya yang demikian, laki-laki harus berada
di wilayah luar rumah atau publik dan untuk kerja-kerja produksi. Atau
kerja-kerja yang menghasilkan uang untuk dibawa masuk ke keluarga.Berdagang,
berkebun, bekerja di pabrik, bepergian jauh, beraktivitas politik dan
berperang. Karena sifatnya yang maskulin, mereka juga harus menanggung beban
keluarga. Karena itu, jika bekerja, laki-laki harus diperhitungkan sebagai yang
utama, diberi gaji penuh, dan diperhitungkan sebagai orang yang menanggung
beban anggota keluarga yang lain. Inilah yang disebut dengan peran gender
laki-laki. [6]
Gender sama sekali
berbeda dengan pengertian
jenis kelamin. Gender bukan jenis
kelamin. Gender bukanlah
perempuan ataupun laki-laki. Gender hanya
memuat perbedaan fungsi
dan peran sosial
laki-laki dan perempuan, yang
terbentuk oleh lingkungan tempat kita berada. Gender tercipta melalui proses sosial
budaya yang panjang dalam
suatu lingkup masyarakat tertentu, sehingga dapat berbeda dari satu
tempat ke tempat lainnya. Misalnya, laki-laki yang memakai tato di badan
dianggap hebat oleh masyarakat dayak, tetapi di lingkungan komunitas lain
seperti Yahudi misalnya, hal tersebut merupakan hal yang tidak dapat diterima. Gender juga berubah
dari waktu ke
waktu sehingga bisa
berlainan dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Contohnya, di masa lalu perempuan yang memakai celana
panjang dianggap tidak pantas sedangkan
saat ini dianggap hal yang baik
untuk perempuan aktif.
Peran Gender
tidak akan mengubah kodrat
manusia, tidak mengubah
jenis kelamin, tidak mengubah fungsi-fungsi biologis dalam
diri perempuan menjadi laki-laki dan tidak
juga dimaksudkan untuk mendorong perempuan mengubah dirinya menjadi seorang laki-laki,
ataupun sebaliknya.
B.
Gender Tidak Melawan Kodrat
Mengapa selama ini orang
sering mencampuradukkan pengertian Gender dan
kodrat? Dikarenakan perbedaan
kodrat yang dimiliki
perempuan dan laki-laki tersebut,
masyarakat mulai memilah-milah
peran sosial seperti apa yang
(dianggap) pantas untuk laki-laki dan bagian mana yang (dianggap) sesuai untuk perempuan. Misalnya, hanya karena kodratnya perempuan mempunyai
rahim dan bisa melahirkan anak, maka kemudian berkembang anggapan umum di
masyarakat bahwa perempuanlah yang bertanggung
jawab mengurus anak.
Selanjutnya, anggapan tersebut semakin berkembang
jauh dimana perempuan
dipandang tidak pantas sibuk di
luar rumah karena
tugas perempuan mengurus
anak akan terbengkalai. Kebiasaan
ini lama kelamaan
berkembang di masyarakat menjadi suatu tradisi dimana
perempuan dianalogikan dengan pekerjaan-pekerjaan domestik dan ‘feminim’
sementara laki-laki dengan pekerjaan-pekerjaan publik dan ‘maskulin’.
Peran Gender
adalah peran yang
diciptakan masyarakat bagi
lelaki dan
perempuan. Peran Gender
terbentuk melalui berbagai
sistem nilai termasuk nilai-nilai
adat, pendidikan, agama, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagai
hasil bentukan sosial,
tentunya peran Gender
bisa berubah-ubah dalam waktu, kondisi
dan tempat yang
berbeda sehingga sangat mungkin dipertukarkan
diantara laki-laki dan
perempuan. Mengurus anak, mencari
nafkah, mengerjakan pekerjaan
rumah tangga (memasak, mencuci, dll)
adalah peran yang bisa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan,
sehingga bisa bertukar
tempat tanpa menyalahi kodrat. Dengan
demikian,
pekerjaan-pekerjaan tersebut bisa
kita istilahkan sebagai peran Gender.
Jika peran Gender
dianggap sebagai sesuatu
yang dinamis dan
bisa disesuaikan dengan kondisi yang dialami seseorang, maka tidak ada
alasan lagi bagi kita
untuk menganggap aneh
seorang suami yang
pekerjaan sehari-harinya memasak dan mengasuh anak-anaknya, sementara
istrinya bekerja di luar rumah. Karena di lain waktu dan kondisi, ketika sang
suami memilih bekerja di
luar rumah dan istrinya
memilih untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga, juga
bukan hal yang dianggap aneh. Dalam masyarakat
tradisional-patriarkhi
(yaitu masyarakat yang
selalu memposisikan
laki-laki lebih tinggi
kedudukan dan perannya
dari perempuan) kita dapat
melihat dengan jelas
adanya pemisahan yang tajam
bukan hanya pada
peran Gender tetapi
juga pada sifat
Gender. Misalnya, laki-laki dituntut untuk bersifat pemberani dan gagah
perkasa sedangkan perempuan harus bersifat lemah lembut dan penurut. Padahal,
laki-laki maupun perempuan
adalah manusia biasa,
yang mempunyai sifat-sifat
tertentu yang dibawanya sejak lahir. Sifat lemah lembut, perasa, pemberani,
penakut, tegas, pemalu dan lain sebagainya, bisa ada pada diri siapapun, tidak
peduli apakah dia perempuan atau
laki-laki. Sayangnya, konstruksi
sosial di masyarakat
merubah pandangan ‘netral’ pada
sifat-sifat Gender tersebut.
Sejak kecil, anak
laki-laki sudah dipaksa untuk ‘tidak manusiawi’ dimana mereka dilarang
untuk menangis, bersikap
lemah lembut dan
pemalu. Ciri dan nilai-nilai seperti itu lama kelamaan berkembang di masyarakat
menjadi norma yang
dikuatkan, disosialisasikan, dan
dipertahankan, bahkan
terkadang dipaksakan sehingga
dianggap kemudian sebagai tradisi. Konsep
subyektif tersebut lama-kelamaan
berkembang dalam berbagai alur
kehidupan sosial masyarakat yang mengakibatkan adanya ketimpangan antara peran
dan kedudukan perempuan dengan laki-laki. Ketimpangan peran Gender seperti
ini membatasi kreativitas, kesempatan dan
ruang gerak kedua
belah pihak, baik
itu laki-laki maupun perempuan. Contohnya,
perempuan yang mempunyai
kemampuan dalam bidang otomotif tidak bisa bebas menggunakan keahliannya
untuk mendapatkan pekerjaan sebagai supir truk atau montir, karena dianggap
bukan pekerjaan perempuan.
Demikian pula halnya
dengan laki-laki yang terampil
menghias diri tidak mau menjadi perias pengantin karena dianggap bukan jenis
pekerjaan laki-laki.
Seorang suami
malu untuk bekerja
di sektor domestik
karena takut dianggap bukan
laki-laki sejati. Padahal,
suami yang memasak
dan mengasuh anak tidak
akan berubah fungsi
biologisnya menjadi
perempuan, demikian pula
sebaliknya, perempuan yang
mencari nafkah menjadi supir
tidak akan berubah
menjadi seorang laki-laki
di keesokan harinya. Jadi
jelas bahwa, bertukar
peran sosial antar
laki-laki dan perempuan
sama sekali tidak
menyalahi atau melawan
kodrat. Berbagi dan bertukar
peran Gender dalam kehidupan sehari-hari secara harmonis dapat membangun masyarakat yang lebih
terbuka dan maju, karena semua
orang mempunyai kesempatan, peluang dan penghargaan yang sama saat mereka
memilih pekerjaan yang diinginkannya. Laki-laki maupun perempuan tidak dibatasi
ruang geraknya untuk memanfaatkan kemampuannya
semaksimal mungkin di
bidang pekerjaan yang
sesuai dengan minat dan
keahliannya Dengan demikian,
peran Gender yang seimbang
memicu semakin banyak
sumberdaya manusia produktif di
masyarakat, yang dapat
menyumbangkan kemampuannya untuk kemajuan bersama.
C.
Kesetaraan Gender di Tengah Masyarakat
Tidak sedikit
orang yang masih
berpikir bahwa membicarakan kesetaraan Gender
adalah sesuatu yang
mengada-ada. Hal yang
terlalu dibesar-besarkan.
Kelompok orang yang berpikir konservatif seperti ini menganggap bahwa kedudukan perempuan dan
laki-laki dalam keluarga maupun dalam masyarakat memang harus berbeda. ‘Perempuan
tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, percuma menghabiskan biaya saja, toh
nantinya akan kembali juga masuk dapur’
Pernah mendengar
ungkapan seperti itu? Hal
ini masih kerap terlontar saat dipertanyakan
apakah anak perempuan
atau laki-laki yang
akan diberikan kesempatan untuk meneruskan
sekolah. Dari ungkapan tersebut sudah
dapat kita lihat
ada dua hal
yang mencerminkan tidak adanya kesetaraan Gender yaitu:
ü Perempuan
tidak diberikan kesempatan yang sama
dengan laki-laki untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan yang berguna
bagi dirinya dan lingkungannya.
ü Laki-laki
tidak diberikan penghargaan yang sama dengan perempuan jika mereka memilih
‘masuk dapur’. Pemikiran seperti
ini umumnya muncul
terutama pada kelompok masyarakat tradisional-patriarkhi
yang masih menganggap bahwa sudah kodratnya
perempuan untuk melakukan pekerjaan di dapur.
Sebagaimana yang telah
dibahas di bagian muka makalah ini,
sekali lagi ditegaskan bahwa peran Gender tidak sama dengan kodrat. Bukan
kodratnya perempuan untuk masuk
dapur, karena kegiatan
memasak di dapur tidak
ada kaitannya dengan ciri-ciri biologis yang ada pada perempuan.
Kegiatan memasak di
dapur (atau kegiatan
domestik lainnya) adalah suatu bentuk pilihan pekerjaan dari
sekian banyak jenis pekerjaan yang
tersedia (misalnya guru, dokter, pilot, supir, montir, pedagang, dll), yang
tentu saja boleh
dipilih oleh perempuan
ataupun laki-laki. Kesetaraan Gender memberikan
pilihan, peluang dan
kesempatan tersebut sama besarnya pada perempuan dan
laki-laki.
Supaya lebih jelas bagaimana kita bisa melihat kesetaraan Gender
terjadi dalam lingkup kegiatan
sehari-hari, berikut ilustrasi
sederhana yang terjadi pada dua
keluarga:
Yang pertama adalah
seorang istri yang
memilih bekerja di
rumah dan suaminya memilih
bekerja buruh di
pabrik. Pada saat
mengambil keputusan di keluarga, istri bebas menentukan apakah dia ingin
bekerja di luar atau di dalam rumah. Demikian juga sang suami tidak keberatan
untuk bertukar peran suatu saat istrinya mempunyai kesempatan bekerja di pabrik.
Dalam hal ini
kita bisa mengatakan
bahwa telah tercipta kesetaraan Gender
di dalam keluarga
tersebut. Istri tidak
dipaksa suami untuk tinggal di
rumah dan suami tidak
diharuskan bekerja di pabrik. Mereka memilih
peran tersebut atas
dasar kemampuan dan
keinginan masing-masing
pihak, tidak ada
paksaan ataupun tekanan
dari istri maupun suami.
Kesetaraan Gender tercipta
manakala istri dan
suami mempunyai peluang yang
sama untuk memilih
jenis pekerjaan yang disukainya dan mempunyai posisi yang
sama saat mengambil keputusan dalam keluarga.
Yang
kedua, adalah seorang perempuan yang bekerja sebagai
pengacara. Orang menganggap dia
sudah sadar Gender,
berpikiran modern dan sudah menikmati kesetaraan Gender dalam
keluarganya. Penampilannya yang tegas dan gaya bicaranya lantang di depan
publik, seolah-olah telah menghapus
bayangan stereotype perempuan
tradisional. Padahal yang terjadi
sebenarnya adalah dia tidak memilih pekerjaan menjadi pengacara, melainkan terpaksa
menjadi pengacara karena
suaminya seorang pengusaha yang
menginginkan sang istri
menangani urusan-urusan hukum
dengan klien-klien bisnisnya.
Sang istri selalu bekerja
dibawah tekanan suami, tidak mempunyai kebebasan mengeluarkan
pendapatnya dan tidak mempunyai kesempatan
untuk memilih pekerjaan
lain yang diinginkannya.
Kita seringkali
membuat dan menilai
sesuatu hanya dari
penampakan luarnya saja. Demikian
pula halnya dengan
kesetaraan Gender. Orang sering
menghubung-hubungkan
kesetaraan Gender dengan
jenis pekerjaan yang dilakukan
oleh perempuan. Namun,
melihat contoh kedua
keluarga di atas, jelas
bagi kita bahwa
jenis pekerjaan seseorang ataupun tempat
bekerja yang dipilih
oleh seseorang bukanlah
ukuran yang dapat menunjukkan
adanya kesetaraan Gender. Kesetaraan Gender ditunjukkan dengan
adanya kedudukan yang setara
antara laki-laki dan perempuan di dalam pengambilan keputusan dan di
dalam memperoleh manfaat dari peluang-peluang yang ada di sekitarnya.
Kesetaraan Gender memberikan penghargaan
dan kesempatan yang sama pada perempuan dan laki-laki
dalam menentukan keinginannya
dan menggunakan kemampuannya
secara maksimal di berbagai bidang. Tidak peduli apakah dia seorang ibu rumah
tangga, presiden, buruh pabrik, supir, pengacara, guru ataupun profesi lainnya, jika kondisi-kondisi tersebut tidak
terjadi pada dirinya maka
dia tidak dapat
dikatakan telah menikmati
adanya kesetaraan Gender.
Di lain pihak,
berkembangnya isu Gender di masyarakat
dan maraknya inisiatif-inisiatif
yang memperjuangkan kesetaraan Gender juga memicu sebagian orang menjadi
berpikir dikotomis. Yang dimaksud
adalah cara berpikir yang
menempatkan perempuan dan
laki-laki pada dua
kubu yang berseberangan.
Perempuan ditempatkan pada kubu
yang teraniaya dan lemah,
sedangkan laki-laki dipandang
sebagai kubu penguasa yang
menjajah perempuan. Hasil
dari pemikiran seperti ini tidak akan memunculkan perilaku
sadar Gender dan
tidak akan mendukung
ke arah terjadinya kesetaraan
Gender. Yang akan
muncul justru ‘perang’ antara perempuan
pada kubu ‘teraniaya’
yang merasa terjajah,
ingin memberontak dan menguasai
laki-laki, sementara kaum
laki-laki pada kubu ‘penguasa’
yang takut kekuasaannya
diambil dan selalu
khawatir terhadap dominasi kaum
perempuan. Yang terjadi
selanjutnya adalah
terjadinya pertarungan antara
kubu perempuan dan
laki-laki tanpa jelas apa
yang sebenarnya diperdebatkan. Kondisi
seperti ini tentunya tidak mendukung
sama sekali pada
tujuan utama kita
membicarakan ‘kesetaraan Gender’.
Terminologi ‘kesetaraan
Gender’ seringkali disalahartikan dengan mengambil alih pekerjaan dan tanggung
jawab laki-laki. ‘Katanya mau
disamakan dengan laki-laki,
kalau begitu panjat atap
dan betulkan genteng yang
bocor, saya tidak perlu melakukan pekerjaan itu lagi sekarang’ ... Bukan hanya
sekali atau dua
kali ungkapan seperti
itu muncul dalam forum diskusi mengenai Gender. Kondisi
seperti ini menyiratkan adanya kesimpangsiuran
dalam memaknai kesetaraan
Gender. Kesetaraan Gender bukan
berarti memindahkan semua
pekerjaan laki-laki ke pundak
perempuan, bukan pula
mengambil alih tugas
dan kewajiban seorang suami oleh
istrinya. Jika hal ini yang
terjadi, bukan ‘kesetaraan’ yang tercipta
melainkan penambahan beban
dan penderitaan pada perempuan. Inti
dari kesetaraan Gender
adalah menganggap semua orang pada kedudukan yang sama dan
sejajar (equality), baik itu laki-laki maupun perempuan. Dengan mempunyai
kedudukan yang sama, maka setiap individu mempunyai hak-hak yang
sama, menghargai fungsi dan tugas
masing-masing, sehingga tidak
ada salah satu pihak
yang mereka berkuasa, merasa lebih baik
atau lebih tinggi kedudukannya dari pihak lainnya.
Singkatnya, inti
dari kesetaraan Gender
adalah kebebasan memilih peluang-peluang yang
diinginkan tanpa ada
tekanan dari pihak
lain, kedudukan dan kesempatan yang sama di dalam pengambilan keputusan
dan di
dalam memperoleh manfaat
dari lingkungan. Bukankah keseimbangan selalu
menciptakan kehidupan manusia
menjadi lebih baik? [7]
D. Pesamaan Hak Laki Laki Dan Perempuan
Dalam Islam
Dalam
Islam banyak sekali Ayat Al Quran menjelaskan tentang persamaan hak antara laki- laki dan perempuan , antara lain:
a.
Kesetaraan di Hadapan Allah
Sebagaimana
diketahui, bahwasanya Allah SWT akan memberikan pahala yang sama kepada laki-
laki maupun perempuan, sebagaimana firman allah dalam Surat An Nisa’ ayat 124
yang berbunyi :
Artinya: Dan Barang siapa mengerjakan amal kebajikan,
baiklaki-laki maupun perempuan, sedang dia beriman, maka mereka itu akan masuk
ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi sedikit pun. [Q.S. al-Nisâ’ (4): 124].[8]
Artinya : Allah menjanjikan kepada orang- orang mukmin
laki- laki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan (mendapat) tempat t yang baik
di surga ‘Adn. Dan keridaan Allah lebih besar; itulah
kemenangan yang agung [Q.S. al-Tawbah (9): 72]. [9]
Artinya : Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik
laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka pasti akan kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan akan
Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan. [Q.S. al- Nahl (16): 97].[10]
Ketiga
ayat di atas menerangkan bahwa laki-laki dan perempuan yang
mengerjakan amal saleh sama-sama akan mendapatkan pahala di
sisi Allah berupa surga, kehidupan yang baik, serta balasan yang berlimpah dari
Allah Swt. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam mendapatkan
balasan kebaikan. Keduanya dapat bersaing dan berlomba melakukan amal kebaikan,
dan janji balasan kebaikan yang sama akan didapatkan dari Allah. Dengan
demikian, perempuan memiliki potensi yang sama dengan laki-laki untuk berbuat
baik serta mendapatkan tempat tertinggi di hadapan Allah. Namun, mengapa dalam
sebagian masyarakat ada yang menempatkan perempuan sebagai manusia yang berbeda
dari laki-laki. Perempuan juga tidak diberi pelajaran yang sama dalam hal agama
sebagaimana laki-laki. Padahal, Allah menyamakan laki- laki dan perempuan.
Perbedaan mereka hanya terletak pada
tingkat ketakwaannya [Q.S. al-Hujurât (49): 13:
Adalah
Rabi’ah al-Adawiyah sosok perempuan yang mendapatkan kedudukan tinggi di
hadapan Allah, padahal dia tadinya seorang budak. Bilal seorang budak yang
dimerdekakan juga memiliki keutamaan di sisi Allah karena ketakwaannya. Maka
jelaslah bahwa syariat mendudukkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang
sama untuk memikul beban dan tanggung jawab. Keduanya, laki-laki dan perempuan,
sama-sama mendapatkan pahala atas segala amal salehnya dan mendapat azab jika
berbuat buruk. Laki-laki dan perempuan sama di hadapan syariat dalam hal
memikul taklîf dan tanggung jawab atas segala perbuatannya.
b.
Kesetaraan dalam Beribadah
Dengan
adanya persamaan untuk berbuat baik di antara laki-laki dan perempuan, maka
tidak ada perbedaan di antara keduanya dalam hal ibadah, seperti
disebutkandalam Q.S. al-Ahzâb (33): 35:
Artinya : Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim,
laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang
sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatannya, laki- laki dan perempuan yang banyak menyebut
(nama)Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang
besar.
Ayat
di atas menegaskan bahwa ada sepuluh macam
kesetaraan, di antaranya kesetaraan dalam beribadah yaitu bersedekah,
berpuasa, dan berzikir. Secara umum disebutkanlaki-laki dan perempuan muslim.
Secara khusus, mukmin adalah yang mengimani rukun iman dan muslim adalah yang
menunaikan rukun Islam, yang meliputi dua kalimat syahadat dan empat macam ibadah khusus yaitu
salat, zakat, puasa, dan ibadah haji. Ayat tersebut juga menegaskan bahwa laki-laki
dan perempuan sama-sama mendapat ampunan dan pahala yang besar, sepanjang ia
melakukan amalan-amalan yang disebutkan dalam ayat tersebut.
Perbedaan
antara laki-laki dan perempuan tidak menjadi prinsip perbedaan dan tidak
menunjukkanrendahnya derajat perempuan. Dengan kesetaraan beribadah antara
laki-laki dan perempuan, maka tidak selayaknya ada perbedaan materi pelajaran
yang disampaikan kepada laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan harus
mendapatkan pelajaran yang sama dalam semua bidang, termasuk masalah materi
ibadah.
Tidak
boleh ada perbedaan materi pelajaran antara siswa laki-laki dan siswa
perempuan. Adanya menstruasi bagi perempuan yang datang setiap bulan bukan
berarti ada perbedaan yang diskriminatif dan tingkatan berbeda antara laki-laki
dan perempuan. Karena, ibadah itu banyak bentuk dan aktivitasnya. Dalam keadaan
menstruasi, seorang perempuan dapat saja menjalankan ibadah selain salat dan
tawaf serta dapat melakukan ibadah sosial, dan hal ini termasuk bagian dari
perbuatan terpuji. Banyak lagi bentuk ibadah yang dapat dilakukan pada saat
perempuan mengalami menstruasi.[11]
E. AURAT PEREMPUAN
Abu
hanifah dalam suatu riwayat, Asy Syafi’I dalam satu riwayatnya, Malik, Al Hadi
dan Al Qasim dalam salah satu pendapatnya, menetapkan bahwa aurat perempuan
adalah seluruh badannya selain muka dan telapak tangannya. Menurut pendapat Abu
Hanifah dalam suatu riwayat lain, Ats Tsauri dan Abu ‘Abbas, kaki dan tempat
gelang bukan aurat.
Ahmad
dan Daud berpendapat, bahwa aurat perempuan adalah seluruh badannya selain
muka. Sebagian pengikut Asy Syafi’iyah berpendapat, seluruh badan perempuan
aurat, tidak ada yang dikecualikan.
An
Nawawy mengatakan, “ aurat perempuan merdeka adalah seluruh badannya, selain
muka dan dua telapak tangan. “ Madzhab malik menetapkan aurat perempuan adalah
seluruh badannya, selain muka dan kedua telapak tangan, demikian pula pendapat
Al Auza’y dan Abu Tsaur. Abu Hanifah dan Al Muzani berpendapat, bahwa kedua
tapak kaki juga aurat. Menurut pendapat Ahmad, menurut Hikayat Al Mawardi. Al
Mutawalli dan Abu Bakar ibn Abdirrahman AlQari, bahwa aurat perempuan adalah
seluruh badannya.
Di
dalam surat An Nur ayat 31 Allah SWT berfirman :
Katakanlah
kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka,
atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau
putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka
memukulkan kakinya (ketika berjalan) agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung.
Ayat
ini menerangkan tugas perempuan berkerudung dan menyembunyikan hiasan badan
dari penglihatan, atau pandangan orang yang tidak dibolehkan memandang aurat
atau hiasannya.
Pada
tahun kelima Hijriyah, Allah memerintahkan isteri-isteri Nabi SAW meletakkan
hijab. Allah SWT berfirman dalam surat Al Ahzab ayat 53 :
…
Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi),
Maka mintalah dari belakang tabir. cara yang demikian itu lebih Suci bagi
hatimu dan hati mereka…
Apakah
yang dimaksud dengan hijab ? tirai, tabir, atau layar yang dibentangkan di
tengah- tengah majelis sebelahnya laki- laki dan sebelahnya perempuan
sebagainya yang dilazimkan sekarang ? ketahuilah bahwa hijab ada tiga bentuk :
1.
Mahram.
Yakni tidak diperbolehkan seorang laki-laki duduk di tempat yang terasing
dengan seorang perempuan, melainkan ada yang beserta mereka, mahram (ialah
orang yang tidak boleh mengawininya). Tegasnya, jika tidak ada dalam rumah,
atau kamar seorang mahram bagi perempuan, terlaranglah kita menemuinya atau
duduk berbicara dengan dia. Jika kita perlu bertanya atau meminta sesuatu kepdanya,
hendaklah kita berdiri di luar rumah atau kamar.
Hijab
yang dikehendaki ayat di atas ialah mahram, atau suatu penghalang antara
perempuan dengan kita, hal ini khusus ketika berhadapan muka dengan seorang di
suatu tempat yang tidak terlihat pandangan umum.
Nabi
SAW bersabda “ janganlah seorang laku- laki berkhalwat dengan seorang
perempuan (duduk berdua di tempat sepi), melainkan harus ada mahram (seorang
kerabat) perempuan yang tidak boleh mengawini perempuan tersebut ( HR. Al
Bukhari)
Hijab
ini mengenai isteri- isteri nabi dan lainnya, walaupun lahirnya hanya mengenai
isteri- isteri nabi SAW.
2.
Menutup semua
badan perempuan selain muka dan telapak tangan dan dua kaki. Allah SWT
berfirman :
“Hai
nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya(Jilbab
ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada
) ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. Al Ahzab Ayat 59)
Dalam
surat Al Ahzab Allah SWT memerintahkan perempuan menutup dirinya dengan jilbab,
supaya tertutup bagian badannya yang tidak dapat ditutupi oleh bajunya, dan
supaya tertutup bentuk dadanya sebab- sebab yang demikian, tidak pantas
kelihatan.
Sebenarnya
yang dimaksud dengan menutup aurat, ialah menutupi anggota dengan cara
menghilangkan perhatian orang yang melihatnya. Apabila seseorang perempuan
meletakkan di badannya baju kebayanya, padahal terang benar bentuk payudaranya,
berarti mereka tidak menutup aurat, karena kebayanya tidak menghilangkan
ketertarikan atau perhatian manusia yang melihatnya.
Jilbab
ialah kain besar yang dipakai perempuan untuk menutupi baju dan sarungnya.
Dalam
surat An Nur, Allah mencegah perempuan memperlihatkan hiasannya dengan sengaja.
Hiasan yang dimaksud adalah melengkapi semua yang menambah keindahan dan
kecantikan, baik kalung, giwang, gelang, peniti dada, bahkain kain. Untuk
menutupi ini di mata umum ketika berjalan di muka umum 9 tempat ramai ), itulah
sebabnya diperintahkan memakai julbab ketika keluar rumah.
Mengingat
hal ini tidak layak bagi perempuan- perempuan Islam, setelah memakai kerudung
yang terbuat dari sutera tipis, dan memakai penjepit kudungnya sebuah rencong
emas, atau tidak. Dengan demikian berarti menutup kepala, memperlihatkan
hiasan. Menutupi kepala diperintahkan. Menutup hiasan diperintahkan, menutup
bentuk badan dan hiasan- hiasan pun diperintahkan juga ketika pergi ke luar
rumah [12]
[1] Mahmud Yunus, Kamus
Arab- Indonesia, (Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1989), h. 415
[2] John M.
Echols dan Hassan
Shadily, Kamus Inggris
Indonesia, (Jakarta: Gramedia,
1995), cet. ke-21, h. 265.
[4] Dede William- de Vries, Gender
Bukan Tabu : Catatan Perjalanan Fasilitasi Kelompok Perempuan di Kambi, (Bogor
: Center For International Forestry Research (CIFOR), h. 3
[5] Faqihuddin Abdul Kodir dkk, Referensi
Bagi Hakim Peradilan Agama Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
(Jakarta : Komnas Perempuan, 2008 ),h. 11
[6] Ibid, h. 12
[7] Dede William- de Vries, Op.Cit,
h. 3-4
[8] Departemen Agama RI, Al
Quran dan Terjemahan, (Bogor : PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri,
2007), h. 98
[9] Ibid, h. 198
[10] Ibid, h. 278
[11] Noordjannah Djohantini dkk, Memecah
Kebisuan : Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan,
( Jakarta : Komnas Perempuan, 2009), h. 115-119
[12] Teungku Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, Koleksi hadits- Hadits hukum, Jilid 1, ( Semarang :
PT. Pustaka Rizki putra, 2002), h. 423-425
Diberdayakan oleh Blogger.