Posted by : Unknown
Jumat, 14 Desember 2012
Soe Hok Gie: Kegelisahan
Tanpa Ujung
(Sumber: Tempo Online, 11 JULI 2005, Seno Joko Suyono,
Nurdin Kalim, L.N. Idayanie, Evieta Fajar, Suseno)
Peristiwa itu
masih melekat di benak Herman Lantang, 65 tahun. “Man, entar turunnya bareng
gue. Lu, gue tunggu di sini,” kata Soe Hok Gie.
Soe Hok Gie
beristirahat di sebuah ceruk. Ia menggigil kedinginan. Udara Gunung Semeru
sangat menusuk waktu itu,16 Desember 1969. Dari Ranu Kumbolo, sebuah danau di
Gunung Semeru, Herman Lantang, Aristides Katoppo, Soe Hok Gie, Idhan Lubis,
Freddy Lasut, Rudi Badil, Abdurachman, dan Wiyana bergerak menuju Arcopodo yang
terletak pada ketinggian 3.200 meter di atas permukaan laut—pos terakhir
sebelum puncak.
Perjalanan
agak tersendat. Sebulan sebelumnya, hutan di kawasan Arcopodo terbakar. Mereka
harus melalui jalur puing-puing kayu yang tertutup abu licin. Target sampai
pukul 10 pagi meleset menjadi pukul 2 siang. Setelah membuka bivak (tenda
darurat), mereka rehat. Kabut tampak tebal di puncak Mahameru. Aristides, Hok
Gie, Rudi, Freddy, dan Wiyana berjalan di depan. Herman, Idhan, dan Maman
menyusul belakangan.
“Man, jangan
lama-lama di puncak, ya, cuacanya nggak bagus,” kata Aristides. Kata-kata Tides
itu ditujukan kepada Herman tatkala ia, Badil, Lasut, dan Wiyana telah turun
dari puncak dan berpapasan dengan Herman yang baru naik. Saat menuju puncak
itulah, Herman melihat Gie berjongkok di sebuah ceruk. Gie kelihatan lelah.
Herman, Idhan, dan Maman tiba di puncak pukul 5 sore. Angin kencang, dan
tiba-tiba mereka merasa pening. Maman setengah berlari turun. Idhan dibimbing
Herman.
Ketika tiba di
tempat Soe Hok Gie menunggu, Herman mendapati Gie terlihat lunglai. Herman yang
memapah Idhan lalu juga memapah Gie. Tiba-tiba, Hok Gie seolah ingin melepaskan
diri dari kekangan. “Meronta-ronta liar seperti ayam yang disembelih,” kenang
Herman. Herman mencoba menenangkan, tapi Hok Gie terus meregang-regang tak
terkendali, lalu diam. Herman yang memeluknya kemudian mengecek denyut nadi Hok
Gie. “Tak berdenyut lagi.”
Herman shock
dan panik. Sementara Idhan Lubis—keponakan Mochtar Lubis—juga tampak lunglai,
dan ternyata meninggal pula. Herman makin panik. Setengah berlari ia turun ke
Arcopodo. “Waktu itu saya berpikir saya juga mau mati. Dua teman saya telah
tewas. Saking paniknya, ketika tiba di bivak, saya langsung minum air
sebanyak-banyaknya. Satu veldples langsung tandas,” kata Herman.
Sampai kapan
pun ia akan tetap ingat tragedi itu. Juga, ketika ia melihat film Gie besutan
Riri Reza. Film tidak menampilkan adegan Semeru, tapi di akhir cerita ada sebuah
memo berisi kabar buruk untuk Ira, sahabat dekat Gie. Juga, tak tampak pada
film bagaimana sesungguhnya Hok Gie pada akhir hidupnya itu memiliki firasat
bakal menghadapi maut. Pada 8 Desember 1969, setelah mendengar seorang teman
masa kecilnya meninggal, Gie menulis:
“Setelah saya
mendengar kematian Kian Fong dari Arief Minggu yang lalu, saya juga punya
perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol pamit
sebelum ke Semeru.”
* * *
Film Gie bukanlah sebuah film seratus persen dokumenter atau sebuah biografi. Itu yang pertama-tama harus dipahami. Film ini adalah sebuah usaha Riri menampilkan sosok seorang pemuda kritis yang terus-menerus gelisah dan menuliskan kegelisahannya sejak SMP sampai masa mahasiswa. Perhatian utamanya senantiasa soal kesewenang-wenangan. “Selalu mencatat dinamika zaman. I think the most interesting dari Gie,” kata Riri.
Film Gie bukanlah sebuah film seratus persen dokumenter atau sebuah biografi. Itu yang pertama-tama harus dipahami. Film ini adalah sebuah usaha Riri menampilkan sosok seorang pemuda kritis yang terus-menerus gelisah dan menuliskan kegelisahannya sejak SMP sampai masa mahasiswa. Perhatian utamanya senantiasa soal kesewenang-wenangan. “Selalu mencatat dinamika zaman. I think the most interesting dari Gie,” kata Riri.
Di sini,
tentunya disertasi John Maxwell, Soe Hok Gie, Pergulatan Intelektual Muda
Melawan Tirani, menjadi tumpuan penyusunan skenario. Buku ini terutama mampu
memberi konteks situasional pada catatan harian Gie. Film dimulai dengan
menampilkan sosok Gie semasa menjadi murid SMP Strada di Gambir 1955, fase saat
watak kritis pemberontakannya mulai terbentuk.
Gie remaja
tumbuh besar (diperankan Jonathan Mulia dengan baik) dengan melahap bacaan
melebihi teman sebayanya. Betapapun demikian, itu tidak menjadikannya seorang
kutu buku, malah di lingkungan rumahnya, Jalan Kebon Jeruk IX (di bilangan
Mangga Besar, Hayam Wuruk) yang penuh persilangan jalan-jalan sempit itu, ia
bergaul erat dengan anak-anak kampung.
Ayah Gie
adalah novelis Soe Li Piet. Ia termasuk diperhitungkan di kalangan sastrawan
Melayu-Tionghoa. Tapi Gie dan kakaknya, Soe Hok Djin (Arief Budiman), tak
pernah meminjam koleksi atau bacaannya dengan dibimbing ayahnya. “Kami sering
ke perpustakaan P dan K dekat rumah di Jalan Gadjah Mada. Gie senangnya
meminjam buku tokoh-tokoh dunia seperti Abraham Lincoln,” kenang Arief.
Pada waktu
itu, ayahnya tak lagi aktif di dunia jurnalistik dan sastra. Ia mendalami
kebatinan, buku-buku teosofi dan Ki Ageng Suryomentaraman. “Di Jakarta dulu ada
Taman Blavatsky (diambil dari nama pendiri perkumpulan teosofi). Ayah sering ke
sana, kumpul-kumpul membicarakan religiositas,” kata Arief. Di film ditampilkan
peran ibu mereka, Nio Hoei (dimainkan oleh Tuti Kirana), lebih menonjol dari
ayah. Sang ayah dimainkan oleh Robby Tumewu, sering ditampilkan duduk termangu,
pasif. Apatis. Tatapannya kosong. Entah tafsir yang benar atau tidak. Sebab,
kata Arief, “Ayah saya memang di keluarga pendiam, tapi kalau dengan
teman-temannya meriah.”
Simpati Gie
pada yang teraniaya memang sudah ada sejak ia kecil. Pernah suatu kali ia
membawa (dengan maksud menyelamatkan) Tjoe Tjin Hok, teman sekolah asal
Tangerang yang sering dipukuli bibinya, untuk menginap di rumah. Hal itu
kemudian menimbulkan ketegangan ketika Hok dicari bibinya. Adegan ini ada dalam
film. Riri mengembangkannya. Hok (dalam film bernama Chin Han) saat dewasa
menjadi kader PKI dan akhirnya diperlihatkan dieksekusi tentara di pantai. “Ini
tambahan fiksi dari saya,” kata Riri.
Dalam film tak
pernah diperlihatkan hubungan intim antara Gie dan sang kakak. Arif Budiman
mengakui, “Memang, hubungan saya dengan Soe Hok Gie sejak remaja kurang baik.
Kami diam-diaman sampai sekitar 1965/1966,” kenang Arif Budiman. Menurut dia,
karena soal sangat sepele, yaitu lantaran Arief merusak sebuah rumah semut. Gie
yang pencinta binatang itu marah. “Akhirnya, ngomong seperlunya saja.”
* * *
Kampus Fakultas Sastra UI Rawamangun adalah tempat Gie sehari-hari beraktivitas. Film berusaha menampilkan independensi Gie. Ia muak terhadap Soekarno tapi tak ingin ikut organisasi berbasis agama atau underbouw partai. Mahasiswa jurusan sejarah itu merasa cocok bergaul dengan kawan-kawan pencinta alam, yang dianggapnya murni dan jujur. Betapapun demikian, ia tetap membina banyak kontak terutama dengan Gerakan mahasiswa Sosialis, organ Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang kalah pada Pemilu 1955 dan kemudian dilarang oleh Soekarno.
Kampus Fakultas Sastra UI Rawamangun adalah tempat Gie sehari-hari beraktivitas. Film berusaha menampilkan independensi Gie. Ia muak terhadap Soekarno tapi tak ingin ikut organisasi berbasis agama atau underbouw partai. Mahasiswa jurusan sejarah itu merasa cocok bergaul dengan kawan-kawan pencinta alam, yang dianggapnya murni dan jujur. Betapapun demikian, ia tetap membina banyak kontak terutama dengan Gerakan mahasiswa Sosialis, organ Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang kalah pada Pemilu 1955 dan kemudian dilarang oleh Soekarno.
Film
menampilkan persahabatan akrabnya dengan Herman Lantang, yang kemudian Ketua
Senat UI. “Teman-teman Gie semua senangnya naik gunung saja. Sering saya dengar
si Herman itu bicara: kalau soal-soal politik begitu serahkan si Uban,” tutur
Arief Budiman. Uban adalah julukan buat Gie. Herman mengakui Gie adalah “aktor
intelektual” sekaligus “provokator” yang gigih untuk membujuk mereka semua naik
gunung, juga kepada para mahasiswi. “Yang pernah dihasut Hok Gie dan mau naik
gunung adalah Meutia Hatta (kini Menteri Peranan Wanita kabinet SBY-Kalla).”
Film juga
menampilkan Gie sebagai bagian jaringan Sumitro Djojohadikusumo. Mantan Dekan
Fakultas Ekonomi ini menentang Soekarno dan dinilai terlibat pemberontakan
Permesta. Ia lalu melarikan diri ke luar negeri dan berpindah-pindah dari
negara satu ke negara lain. Dari domisilinya yang disebut mobile head quarter
karena berpindah-pindah itu, ia mengkoordinasi dan membuat jaringan bawah tanah
di Indonesia. Tujuannya untuk melemahkan rezim Soekarno. Gerakan ini
dinamakannya Gerakan Pembaharuan.
Awal mula Gie
terlibat Gerakan Pembaharuan adalah ketika ia sering nongkrong di bekas markas
besar PSI, Jalan Cisadane, Jakarta. Di situ ia bertemu dengan Henk Tombokan,
yang pernah dipenjara karena terlibat Permesta dan oleh Sumitro lalu ditunjuk
untuk mengkoordinasi jaringan di Jakarta. Di situlah Gie berkenalan dengan
Boeli C.H. Londa dan Jopie Lasut, aktivis Gemsos yang kemudian menjadi
sahabat-sahabat karibnya.
“Jaringan ini
terdiri atas sekumpulan unit-unit otonom atau case officers (CO). Saya, Boeli
Londa, dan Hok Gie ikut sebagai anggota kelompok dengan nama CO5,” kata Jopie
Lasut. “Setiap kiriman uang atau materi selebaran dari Sumitro di luar negeri
biasanya diselundupkan kepada pilot Garuda yang masuk dalam jaringan kita,”
kenang Boeli.
Bersama
mereka, Gie menyebarkan selebaran itu. “Gie juga aktif membuat materi pamflet,”
tutur Jopie Lasut. Di luar itu, Gie aktif berhubungan dengan tentara yang
dianggapnya anti-Soekarno. Soeripto (mantan Sekjen Departemen Kehutanan di
zaman Gus Dur), yang saat itu jadi penghubung antara militer anti-Soekarno dan
mahasiswa, termasuk yang sangat akrab dengan Gie. “Pada waktu itu, saya
pertemukan Gie dengan Brigadir Jenderal Yoga Sugama, Wakil Ketua Gabungan Satu
Komando Operasi Tertinggi. Kepada Yoga, Gie meminta agar tentara betul-betul
mengkritik Soekarno,” katanya.
Pada 1966,
mahasiswa tumpah ke jalan secara besar-besaran. Gie bersama “gengnya” di
Fakultas Sastra UI berpawai dari Salemba ke Rawamangun. “Dia man of action yang
selalu resah,” kata Fikri Jufri, jurnalis senior—waktu itu jebolan Fakultas
Ekonomi UI. Fikri melihat Hok Gie selalu menyempal bikin demo sendiri.
Banyak yang
melihat Gie sebagai sosok “Mat Gawat”, seseorang yang melihat persoalan dengan
kacamata selalu dramatis. Nono Anwar Makarim agak sepakat. Hal yang tak pernah
dilupakannya tentang Gie: suatu malam, di bilangan Pabrik Angin Jalan
Minangkabau ia didatangi orang yang belum dikenal. Orang itu menyampaikan bahwa
Hok Gie sedang mencarinya untuk dimintai petunjuk.
Beberapa waktu
kemudian, datanglah Gie lengkap dengan ransel kanvas militernya. Dengan wajah
serius sekali Gie berkata dengan suara seakan memberi laporan: “Tukang copet
Senen dan buruh Tanjung Priok sudah siap dan akan segera bergerak begitu ada
instruksi dari sini!”
“Yang
gini-gini lho yang bikin kami bingung dalam berinteraksi dengan Hok Gie. Sense
of drama-nya luar biasa,” kata Nono.
Pernah di kali
lain, saat Nono berkumpul dengan beberapa rekan, membicarakan Zainal Zakse,
wartawan Harian Kami yang terluka parah akibat tusukan bayonet dalam demo di
depan Istana Presiden, 3 Oktober 1966. Hok Gie datang dengan tas kanvasnya dan
berbisik keras-keras: “Ibrahim Adjie turun dari Bandung dengan tiga batalion
Kujang untuk melindungi Soekarno dan menghabisi kita.” “Bisa dibayangkan
bagaimana deg-degannya jantung. Terbukti bahwa berita itu tidak benar. Tapi
kami semuanya sudah sempat mulas perut,” kenang Nono.
Karakter
demikian juga tampak dalam gaya tulisan Gie. Tulisan-tulisannya tajam. Ringkas.
Dan langsung ke sasaran tanpa tedeng aling-aling. Gie aktif menulis. “Setiap
kali ia dapat honor, kita ditraktir,” ujar A. Dahana, guru besar Jurusan Sastra
Cina UI. Tulisan-tulisannya juga dikumandangkan radio Ampera yang dikelola
abangnya. “Sejak peristiwa PKI, kami mulai bicara lagi, tetapi tetap tidak
akrab, seperlunya saja,” kata Arief Budiman. Siaran Ampera saat itu di rumah
Mashuri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu, di Jalan H. Agus Salim.
Terkadang
tindakan Gie bisa mencengangkan. Boeli Londa tak bisa melupakan ketika Gie ikut
penyerangan kantor berita RRC, Xin Hua, di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat,
lantaran dianggap terus mendukung PKI. “Saya terkagum-kagum Hok Gie memanjat
tembok kantor itu begitu cepat, menduduki kantor berita itu, lalu memusnahkan
dokumen-dokumen di sana….”
* * *
“…Orang-orang yang dahulu gelandangan bersama saya tiba-tiba mau memberikan kuliah pada saya tentang taktik perjuangan. “Soe apa yang kaubilang benar, tetapi kita harus realis. Jangan ekstrem-ekstreman. Berbahaya. Sampai detik ini saya tidak pernah merasa saya ekstrem. Kalau saya melihat korupsi, manipulasi, dekadensi moral dan lalu saya katakan, mereka bilang ekstremis… (dari “I Remember Merapi”)
“…Orang-orang yang dahulu gelandangan bersama saya tiba-tiba mau memberikan kuliah pada saya tentang taktik perjuangan. “Soe apa yang kaubilang benar, tetapi kita harus realis. Jangan ekstrem-ekstreman. Berbahaya. Sampai detik ini saya tidak pernah merasa saya ekstrem. Kalau saya melihat korupsi, manipulasi, dekadensi moral dan lalu saya katakan, mereka bilang ekstremis… (dari “I Remember Merapi”)
Meski Soekarno
telah runtuh, Gie tetap gelisah. Ia merasa sesak melihat banyak teman
perjuangan lalu menjadi anggota DPR dan MPRS. “Dia mengirim BH dan lipstik
kepada kami, para bekas aktivis mahasiswa yang duduk sebagai anggota DPR-GR,”
Nono Anwar Makarim mengakui. Nono waktu itu menjadi anggota Dewan sebagai wakil
dari IPMI, Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia.
“Konsep Gie
mengenai peran mahasiswa itu seperti film koboi. Sang koboi turun ketika kota
kacau. Tapi setelah aman, koboi pergi lagi,” kata A. Dahana. Pada pemerintahan
yang baru, Gie juga terpana menatap fakta adanya pembunuhan massal dan
penahanan besar-besaran terhadap anggota PKI dan warga yang diduga PKI. Ia
menulis tajam dan keras. Ia kecewa, intelektual yang dia kagumi seperti Mochtar
Lubis termasuk yang menyokong penahanan ini.
“Hok Gie
termasuk intelektual yang lebih awal mengkritik pembantaian PKI. Dia termasuk
di baris depan,” kata Rahman Toleng, bekas Pemimpin Redaksi Mahasiswa
Indonesia, koran yang terbit di Bandung, tempat Gie kerap menulis. “Tulisan-tulisan
dia sangat tajam, sampai saya harus memotong tulisan itu banyak sekali.”
Kekecewaan
lain pada Sumitro yang, setelah kembali dari pengasingan politik, ikut dalam
kabinet Orde Baru dan kalangan dekatnya didesas-desuskan penuh korupsi. “Pernah
saya menulis di Harian Kami, judulnya: Soemitro: Kembalinya Sebuah Aset,
tiba-tiba saya dikritik Gie habis,” kata Fikri Jufri.
Alinea yang
dikutip dari “I Remember Merapi” di atas—ditulis Gie di harian Mahasiswa
Indonesia, Minggu 4 Juli 1967—menunjukkan keresahannya. Surat senada juga
dikirimkan kepada Herman Lantang pada 25 Desember 1967. “Mereka mengeluh saya
keras kepala…. But I can’t change my personality…. Pengobat dari semua
kekecewaan ini membuat Gie balik kembali ke alam. Gunung adalah tempat segala
kemurnian dan keteguhan hati.”
Dalam akhir
catatan hariannya, Gie tampak ingin bertemu mesra dengan teman-teman wanitanya.
Dalam catatan hariannya ia seolah menyembunyikan nama-nama mereka yang
dikasihinya. Ia sering menyebut nama Maria, Rina, dan Sunarti yang bukan
nama-nama asli. Dari ketiganya, sepertinya dia cinta berat sama Maria,” ujar
Herman Lantang.
Di saat
kesepian, tidak dimengerti teman, dan merasa muak terhadap keadaan, Gie
mengharapkan seorang wanita yang bisa mendampingi dan memahami perjuangannya. Ia
terasa melankolis. “Hok Gie itu mau sok dewasa kalau ngomong soal cewek. Banyak
berteori tentang cewek, sementara dirinya sendiri kayaknya tidak berdaya,” kata
Boeli Londa.
Dalam film,
perasaan melankolis, perasaan tak berdaya, mengambang, itu tampaknya hendak
ditonjolkan juga. Dalam sebuah adegan, Gie digambarkan melakukan ciuman dengan
Sinta (diperankan Wulan Guritno). Riri dalam film juga tak menyebut sahabat
perempuan Gie dengan nama-nama asli. Tapi baik Herman maupun Jopie Lasut tak
percaya adegan itu betul-betul terjadi. “Ah, saya nggak yakin Hok Gie begitu.
Saya kira, kalau memang itu pernah terjadi, pasti ceweknya dulu yang memulai
hahaha….”
John Maxwell
melihat, di akhir hidupnya, Gie makin frustrasi, makin kecewa—depresi melihat
masa depan negara ini. There are men and women so lonely they believe God too
is lonely (ada pria dan wanita yang merasa begitu kesepian sehingga mereka
percaya Tuhan pun kesepian) tulis Gie ketika umurnya 19 tahun. Pada usia 27
tahun, di Semeru, ia menemukan kesunyian abadinya. Dan sekarang Nicholas
Saputra mengekalkannya sebagai sebuah citra.
Diberdayakan oleh Blogger.