Posted by : Unknown
Rabu, 12 Desember 2012
PEMBAHASAN
SEJARAH
PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM
PADA
MASA KHULAFA AR- RASYIDIN
A.
KHALIFAH
ABU BAKAR ASH- SHIDDIQ ( TAHUN 11 H- 13 H)
1. Kelahiran Abu Bakar Ash- Shiddiq
Abu Bakar Ash- Shidddiq ( nama
lengkapnya Abu Bakar Abdullah bin Abi Quhafah bin Utsman bin Amr bin Masud bin
Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr At- Taimi Al- Quraisy).
Dilahirkan pada tahun 573 M. Ayahnya bernama Utsman ( Abu Kuhafah) bin Amir bin
Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Lu’ay, berasal dari suku Quraisy, sedangkan ibunya
bernama Ummu Al- Khair Salmah binti Sahr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taym bin
Murrah. Garis keturunannya bertemu pada neneknya, yaitu Ka’ab bin Sa’ad. [1]
Abu Bakar merupakan orang yang pertama
masuk Islam ketika Islam mulai didakwakan. Pengorbanan Abu Bakar terhadap Islam
tidak diragukan lagi. Abu Bakar juga
merupakan seorang yang jernih tabi’atnya, persahabatan dan kepercayaannya yang
kekal kepada kenabian Nabi Muhammad SAW menjadi sebuah tanda bukti ketulusan
hatinya. [2]
Ia juga pernah ditunjuk Rasul sebagai
penggantinya untuk mengimami shalat ketika nabi sakit. Nabi Muhammad SAW pun
wafat tak lama setelah kejadian tersebut. Karena tidak ada pesan mengenai siapa
penggantinya dikemudian hari, pada saat jenazah Nabi belum dimakamkan di antara
umat Islam, ada yang mengusulkan untuk cepat- cepat memikirkan pengganti Nabi.
Itulah perselisihan pertama terjadi pasca Nabi wafat. Perselisihan tersebut
berlanjut ke perselisihan kedua di Saqifa Bani Sa’idah[3]
, pada
saat kaum Anshar menuntut diadakannya pemilihan khalifah. Sikap kaum Anshar ini
menunujukkan bahwa kaum Anshar lebih memiliki rasa kepedulian dalam hal
berpolitik dibandingkan dengan kaum Muhajirin.
Dalam pertemuan tersebut, sebelum kaum
Muhajirin datang, golongan Khajraz telah sepakat mencalonkan Salad bin Ubadah,
sebagai pengganti Rasul. Akan tetapi suku Aus belum menjawab atas pandangan
tersebut sehingga terjadilah perdebatan
antara mereka dan pada akhirnya Salad bin Ubadah yang tidak menginginkan adanya
perpecahan mengatakan bahwa ini merupakan awal dari perpecahan. Melihat situasi
yang memanas, Abu Ubaidah mengajak kaum Anshar agar bersikap tenang dan
toleran, kemudian Basyir bin Sa’ad Abi An Nu’man bin Basyir berpidato dengan
mengatakan agar tidak memperpanjang masalah ini. Keadaan yang sudah tenang ini,
Abu Bakar berpidato , “ Ini Umar dan Abu Ubaidah, siapa yang kamu kehendaki di
antara mereka berdua, maka bai’atlah.
Baik Umar maupun Abu Ubaidah merasa
keberatan atas ucapan Abu Bakar dengan mempertimbangkan berbagai alasan,
diantaranya adalah ditunjukinya Abu Bakar sebagai pengganti rasul dalam imam
shalat dan ini membuat Abu bakar lebih berhak menjadi pengganti Rasulullah SAW.
Sebelum keduanya membai’at Abu Bakar, Basyir bin Sa’ad mendahuluinya, kemudian
Umar dan Abu Ubaidah dan diikuti secara serentak oleh semua hadirin.
2. Peran dan
Fungsi Abu Bakar
Sepak terjang pola pemerintahan Abu
Bakar dapat dipahami dari pidato Abu Bakar ketika ia diangkat menjadi khalifah.
Secara lengkap isi pidatonya sebagai berikut :
“ Wahai manusia,
sungguh aku telah memangku jabatan yang kamu percayakan, padahal aku bukan
orang yang terbaik di antara kamu. Apabila aku melaksanakan tugasku dengan
baik, bantulah aku, dan jika aku salah, luruskanlah aku. Kebenaran adalah suatu
kepearcayaan, dan kedustaan adalah suatu pengkhianatan. Orang yang lemah di
antara kamu adalah orang kuat bagiku sampai aku memenuhi hak- haknya, dan orang
kuat di antara kamu adalah lemah bagiku hingga aku mengambil haknya, Insya
Allah. Janganlah salah seorang dari kamu meninggalkan Jihad. Sesungguhnya kaum
yang tidak memenuhi panggilan jihad maka Allah akan menimpakan atas mereka
suatu kehinaan. Patuhlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasulnya, jika aku tidak menaati Allah dan Rasul Nya, sekali-
kali janganlah kamu menaatiku. Dirikanlah shalat, semoga Allah merahmati kamu.”
[4]
Ucapan pertama ketika dibai’at
menunjukkan garis besar politik dan kebijaksanaan Abu Bakar dalam pemerintahan
antara lain :
a.
Kebijaksanaan
pengurusan terhadap agama
Pada awal pemerintahannya ia diuji
dengan adanya ancaman yang datang dari umat Islam sendiri yang menentang
kepemimpinannya. Di antara perbuatan makar tersebut ialah timbulnya orang-
orang yang murtad, orang- orang yang tidak mau membayar zakat, orang- orang
yang mengaku menjadi nabi, dan pemberontakan dari beberapa kabilah
b.
Kebijaksanaan
Kenegaraan
Diantara kebijakan Abu Bakar dalam
pemerintahan atau kenegaraan antara lain :
1.
Bidang
Eksekutif
Untuk pelaksanaan tugas- tugas
eksekutif, Abu Bakar melakukan pembagian kekuasaan di kalangan sahabat senior,
Abu Bakar mengangkat tiga orang sahabat yaitu : Ali , Usman dan Zaid bin Tsabit
sebagai sekretaris Negara (Katib) yang berkedudukan di kota Madinah.
Untuk memegang keuangan Negara, Abu Bakar menunjuk Abu Ubaidah sebagai
Bendahara. Sedangkan untuk jabatan hakim agung diserahkan kepada ‘Umar ibn Al
Khattab, sementara dalam membantu khalifah memutuskan urusan- urusan
kenegaraan, Abu Bakar juga membentuk Majelis Syura yang terdiri dari ‘Umar,
Usman, Ali, Abd al – Rahman ibn ‘Awf, Mu’adz ibn Jabal, Ubay ibn Ka’b dan Zaid
bin Tsabit. [5]
2.
Pertahanan
dan Keamanan
Dengan mengorganisasikan pasukan-
pasukan yang ada untuk mempertahankan eksistensi keagamaan dan pemerintahan.
Pasukan itu disebarkan untuk memelihara stabilitas di dalam maupun di luar
negeri. Di antara panglima yang ada ialah Khalid bin Walid, Musanna bin
Harisah,, Amr bin ‘Ash, Zaid bin Sufyan dan lain- lain.
3.
Yudikatif
Fungsi kehakiman dilaksanakan oleh
Umar bin Khattab dan selama masa pemerintahan Abu Bakar tidak ditemukan suatu
permasalahan yang berarti untuk dipecahkan, hal inni karena kemampuan dan sifat
Umar sendiri dan masyarakat pada waktu itu dikenal ‘alim
4.
Sosial
ekonomi
Sebuah lembaga mirip Bait Al Mal. Di dalamnya dikelola harta benda
yang di dapat dari zakat, infak, shadaqah, ghanimah dan lain- lain. Penggunaan
harta tersebut digunakan untuk gaji pegawai Negara dan untuk kesejahteraan umat
sesuai dengan aturan yang ada.
Pada masa Abu Bakar ini, bagi orang
yang enggan enggan dan membangkang dalam membayar dapat dihukum dengan denda,
bhkan dapat diperangi dan dibunuh. Hal ini dilakukan oleh Abu Bakar sepeninggal
Rasulullah SAW, karena banyak suku Arab yang tidak mau membayar zakat dan hanya
mau mengerjakan shalat. Abu Bakar pernah menyatakan, “ Demi Allah, Saya akan
memerangi siapapun yang membeda- bedakan zakat dan shalat “.[6]
3. Penyebaran
Islam pada Masa Abu Bakar
Setelah pergolakan dalam negeri
berhasil dipadamkan (terutama memerangi orang- orang murtad), khalifah Abu
Bakar menghadapi kekuatan Persia dan Romawi yang selalu berkeinginan
menghancurkan eksistensi Islam. Untuk menghadapi Persia, Abu Bakar mengirim
tentara Islam di bawah pimpinan Khalid bin walid dan Mutsanna bin Haritsah dan
berhasil merebut beberapa daerah penting Irak dari kekuasaan Persia. Adapun
untukl menghadapi Romawi, Abu Bakar memilih empat panglima Islam terbaik yaitu,
Amr bin al Ash di front palestina, Yazid bin Abi Sufyan di front damaskus, Abu
Ubaidah di front Hims dan Syurahbil bin Hasanah di front Yordania. Empat
pasukan ini kemudian dibantu oleh Khalid
bin Walidyang bertempur di front Siria [7]
4. Faktor Keberhasilan Khalifah Abu Bakar
Faktor keberhasilan Abu Bakar yang
lain adalahb dalam membangun pranata social di bidang politik dan pertahanan
keamanan. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari sikap keterbukaannya, yaitu
memberikan hak dan kesempatan yang sama kepada tokoh- tokoh sahabat untuk ikut
membicarakan berbagai masalah sebelum mengambil keputusan melalui forum
musyawarah sebagai lembaga legislative.
5. Peradaban Pada Masa Abu Bakar
Bentuk
peradaban yang paling besar pada masa Khalifah Abu Bakar antara lain :
a.
Penghimpunan
Al Quran, Abu Bakar memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit untuk menghimpun Al-
Quran dari pelepah kurma, kulit binatang, dan dari hapalan kaum muslimin
b.
Dalam bidang
pranata social ekonomi adalah mewujudkan keadilan dan kesejahteraan social rakyat
dengan cara mengelola zakat, infak dan sedekah yang berasal dari kaum muslimin
Abu Bakar menjalankankan roda
pemeriintahannya selama lebih kurang 2 Tahun.
c.
Praktik
pemerintahan Khalifah Abu Bakar terpenting lainnya adalah mengenai suksesi kepemimpinan
atas inisiatifnya sendiri dengan menunjuk Umar bin Khattab untuk
menggantikannya.
B.
KHALIFAH
UMAR IBN AL- KHATTAB
1. Kelahiran Umar Ibn Al- Khattab (TAHUN 13 H- 23 H)
Umar ibn Al- Khattab (583-644) yang
memiliki nama lengkap Umar bin Khattab bin Nufail bin Abd Al Uzza bin Ribaah
bin Abdillah bin Qart bin Razail bin ‘adi bin Ka’ab bin lu’ay adalah khalifah
kedua yang menggantikan Abu Bakar Ash- Shiddiq. Dia adalah salah seorang
sahabat terbesar sepanjang sejarah sesudah Nabi Muhammad SAW.
Kebesarannya terletak pada
keberhasilannya, baik sebagai negarawan yang bijaksana, maupun sebagai Mujtahid
yang ahli dalam membangun Negara besar yang ditegakkan atas prinsip-
prinsip keadilan, persamaan, dan persaudaraan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad
SAW.
2. Latar Belakang Kehidupan Umar ibn Al- Khattab
Umar ibn Al- Khattab dilahirkan di
Mekkah dari keturunan suku Quraisy yang terpandang dan terhormat. Ia lahir
empat tahun sebelum terjadinya perang Fijar dan tiga belas tahun lebih muda
dari Nabi Muhammad SAW.
Sebelum masuk Islam, Umar termasuk di
antara kaum Kafir Quraisy yang paling ditakuti oleh orang- orang yang sudah
masuk Islam. Setelah Umar masuk islam, dia menjadi salah seorang yang gigih dan
setia membela Islam.
3. Pengangkatan Umar ibn Al- Khattab Sebagai Khalfah
Abu Bakar sebelum meninggal pada tahun
634 M/ 13 H, menunjuk Umar ibn Al Khattab sebagai penggantinya. Kendatipun hal
ini merupakan perbuatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, tapi nampaknya
ada beberapa factor dalam penunjukan ini antara lain :
a.
Kehawatiran
peristiwa yang sangat menegangkan di Tsaqifah Bani Sa’idah yang nyaris menyeret
ke perpecahan.
b.
Kaum Anshar
dan kaum Muhajirin saling mengklaim sebagai golongan yang berhak menjadi
Khalifah
Penunjukan Abu Bakar terhadap Umar
yang dilakukan disaat ia mendadak sakit pada masa jabatannya merupakan suatu
yang baru, tetapi harus dicatat bahwa penunujukan itu dilakukan dalam bentuk
rekomendasi atau saran yang diserahkan pada persetujuan umat.
Abu Bakar telah memanggil Abdur-Rahman bin Auf dan ia menanyakan tentang
Umar. "Dialah yang mempunyai pandangan terbaik, tetapi dia terlalu
keras," kata Abdur-Rahman. " Setelah Abdur-Rahman keluar ia memanggil Usman
bin Affan dan ditanyanya tentang Umar. "Semoga Allah telah memberi
pengetahuan kepada saya tentang dia," kata Usman, "bahwa isi hatinya
lebih baik dari lahirnya. Tak ada orang yang seperti dja di kalangan
kita." Setelah itu Abu Bakr meminta
pendapat Sa'id bin Zaid dan . Beberapa orang sahabat Nabi ketika mendengar saran-saran
Abu Bakar mengenai pe-nunjukan Umar sebagai khalifah
Merasa tidak cukup hanya
bermusyawarah dengan orang-orang bijaksana di kalangan Muslimin, terutama
setelah ada pihak yang menentang, dari dalam kamar di rumahnya itu Abu Bakr
menjenguk kepada orang-orang yang ada di Masjid, dan berkata kepada mereka:
"Setujukah kalian dengan orang yang dicalonkan menjadi pemimpin kalian?
Saya sudah berijtihad menurut pendapat saya dan tidak saya mengangkat seorang
kerabat. Yang saya tunjuk menjadi pengganti adalah Umar bin Khattab. Patuhi dan
taatilah dia!" Mereka menjawab: "Kami patuh dan taat." Ketika
itu ia mengangkat tangan ke atas seraya berkata: "Ya Allah, yang
kuinginkan untuk mereka hanyalah yang ter-baik untuk mereka . [9]
Setelah dilantik menjadi khalifah,
‘Umar berpidato di hadapan umat Islam untuk menjelaskan visi politik dan arah
kebijakan yang akan dilaksanakan dalam memimpin kaum muslimin, dalam pidatonya
berbunyi :
“Aku telah dipilih menjadi
Khalifah. Kerendahhatian Abu Bakar sejalan dengan jiwanya yang terbaik di
antara kalian dan lebih kuat terhadap kalian serta juga lebih mampu memikul
urusan- urusan kamu yang penting. Aku diangkat untuk menjadi Khalifah tidak
sama dengan beliau. Seandainya aku tahu ada orang yang lebih kuat untuk memikul
jabatan ini dari padaku, maka aku lebih suka memilih memberikan leherku untuk
dipenggal daripada memikul jabatan ini. [10]
4. Ekspansi Islam Masa Pemerintahan Kahalifah Umar
ibn Al- Khattab
Selama sepuluh tahun pemerintahan Umar
(13 H/ 634 M- 23 H/ 644 M ), sebagian besar ditandai oleh penaklukan-
penaklukan untuk melebarkan Islam ke luar Arab. Sejarah mencatat, Umar telah
berhasil membebaskan negeri- negeri jajahan Imperium Romawi dan Persia yang
dimulai dari awal pemerintahannya, bahkan sejak pemerintahan sebelumnya. Segala
tindakan yang dilakukan untuk menghadapi dua kekuatan itu jelas bukan hanya
menyangkut kepentingan keagamaan saja, namun juga untuk kepentingan politik.
Faktor- faktor yang melatarbelakangi
timbulnya konflik antara umat Islam dengan Romawi dan Persia antara lain :
a.
Bangsa Romawi
dan Persia tidak menaruh hormat terhadap maksud baik Islam
b.
Semenjak Islam
masih lemah, Romawi dan Persia selalu berusaha menghancurkan Islam
c.
Bangsa Romawi
dan Persia sebagai Negara yang subur dan terkenal dengan kemakmurannya, tidak
berkenan menjalin hubungan perdagangan dengan negeri- negeri Arab.
d.
Bangsa Romawi
dan Persia bersikap ceroboh menghasut suku- suku Badui untuk menentang Islam.
e.
Letak
geografis kekuasaan Romawi dan Persia sangat strategis untuk kepentingan
keamanan dan pertahanan islam.
5.
Umar
ibn Khattab : Madinah Sebagai Negara Adikuasa
Semenjak penaklukan Persia dan romawi
, pemerintahan Islam menjadi adikuasa dunia yang memiliki wilayah kekuasaan
luas meliputi, semenanjung Arabia, palestina, Siria, Irak, Persia, dan Mesir.
Umar ibn Al- Khattab yang dikenal
sebagai negarawan, administrator terampil dan pandai, dan seorang pembaharu
membuat berbagai kebijakan mengenai pengelolaan wilayah kekuasaan yang luas, ia
menata struktur kekuasaan dan administrasi pemerintahan Negara Madinah
berdasarkan semangat Demokrasi.
6.
Peradaban
pada masa Khalifah Umar
Peradaban yang paling signifikan pada
masa Umar, selain pola administrative pemerintahan, peperangan, dan sebagainya
adalah pedoman dalam peradilan. Pemikiran Khalifah Umar bin Khattab khususnya
dalam peradilan yang masih berlaku samapai sekarang adalah sebagai berikut : [11]
1.
Kedudukan
lembaga peradilan ( wajib di tengah- tengah masyarakat )
2.
Memahami kasus
persoalan, baru memutuskannya
3.
Samakan
pandangan anda kepada kedua belah pihak, dan berlaku adillah.
4.
Kewajiban
pembuktian
5.
Lembaga damai
6.
Penundaan
persidangan
7.
Kebenaran dan
keadilan adalah masalah universal
8.
Kewajiban
menggali hokum yang hidup dan melakukan penalaran logis.
9.
Orang Islam
haruslah berlaku adil
10. Larangan
bersidang ketika emosional.
Khalifah Umar bin Khattab
menjalankankan roda pemeriintahannya selama lebih kurang 10 Tahun.
C.
KHALIFAH UTSMAN BIN AFFAN ( TAHUN 23 H- 35 )
1.
Kelahiran
Utsman Bin Affan
Nama
beliau adalah Utsman
bin 'Affan bin
Abil 'Ash bin Umayyah
bin Abdisy Syams
bin Abdi Manaf bin
Qusyai bin Kilab.
Beliau menisbatkan dirinya kepada bani
Umayyah, salah satu
kabilah Quraisy. Beliau
dilahirkan pada tahun 576 M di Mekah
enam tahun setelah tahun ga jah,
menurut pendapat yang
shahih. Beliau tumbuh diatas
akhlak yang mulia
dan perangai yang
baik. Beliau sangat pemalu,
bersih jiwa dan
suci lisannya, sangat sopan
santun, pendiam dan
tidak pernah menyakiti orang
lain. Beliau suka
ketenangan dan tidak suka
keramaian/kegaduhan,
perselisihan, teriakan
keras. Dan beliau
rela mengorbankan nya wanya demi
untuk menjauhi hal-hal tersebut.
Dan karena kebaikan akhlak
dan mu'amalahnya, beliau dicintai oleh
Quraisy, hingga merekapun menjadikannya sebagai perumpamaan. Dari sini Imam Asy-S ya'bi mengatakan
: "Dahulu Utsman
sangat dicintai oleh orang-orang
Quraisy, mereka
menjadikannya sebagai suri
taudalan, mereka
memuliakannya. Sampai-sampai para
ibu dari kalangan orang-orang
Arab, jika menghibur
anaknya, dia mengatakan : Demi
Allah yang Maha Penyayang, aku mencintaimu seperti kecintaan Quraisy kepada
Utsman . [12]
Ibu Khalifah Utsman bin Affan adalah
Urwy bin Kuriz bin Rabiah. Utsman bin Affan masuk Islam pada usia 30 tahun atas
ajakan Abu Bakar. Sesaat setelah masuk Islam, ia sempat mendapatkan siksaan
dari pamannya, Hakam bin Abil Ash. Ia dijuluki dzun nurain, karena
menikahi dua putrid Rasulullah SAW secara
berurutan setelah yang satu meninggal, yakni Ruqayyah dan Ummu Kalsum.
2.
Pengangkatan
Khalifah Usman bin Affan
Panitia pemilihan Khalifah, memilih
Usman menjadi Khalifah ketiga menggantikan Umar bin Khattab. Pemerintahan Usman
bi Affan ini berlangsung dari tahun 644 sampai 656 M. ketika Usman dipilih, Usman
telah tua ( 70 tahun) dengan kepribadian yang agak lemah.
Dalam Pidato pelantikan (inaugural
speech) dari khalifah terpilih Utsman bin Affan ra, setelah beliau dibai’at
adalah sebagai berikut :
“ Amma ba’du, sesungguhnya, tugas ini
telah dipikulkan kepadaku dan aku telah menerimanya, dan sesungguhnya aku
adalah muttabi’ (pengikut sunnah Rasulullah SAW) dan bukannya seorang
mubtadi’ (seorang yang berbuat bid’ah).
Ketahuilah bahwa kalian berhak menuntut aku mengenai selain Kitab Allah dan
Sunnah Nabi Nya, yaitu mengikuti apa yang telah dilakukan oleh orang- orang
sebelumku dalam hal- hal yang kamu sekalian telah bersepakat dan telah kamu
jadikan sebagai kebiasaan, membuat kebiasaan baru yang layak bagi ahli
kebajukan dalam hal- hal yang belum kamu jadikan sebagai kebiasaan, dan
mencegah diriku dari bertindak atas kamu kecuali dalam hal- hal yang kamu
sendiri telah menyebabkannya. “ [13]
Kelemahan ini dipergunakan oleh orang-
orang di sekitarnya untk mengejar keuntungan pribadi, kemewahan dan kekayaan.
Hal ini dimanfaatkan terutama oleh keluarganya sendiri dari golongan Umayyah.
Banyak pangkat- pangkat tinggi dan jabatan- jabatn penting dikuasai oleh
familinya. Pelaksanaan pemerintahan seperti ini, dalam bahasa orang sekarang
disebut nepotisme (kecenderungan untuk mengutamakan atau menguntungkan sanak
saudara (keluarga sendiri ).
3.
Visi
dan Misi Khalifah Utsman bin Affan
Dalam pidato pelantikan Utsman bin
Affan tergambar bahwa beliau adalah sebagai seorang Sufi, dan citra
pemerintahannya lebih bercorak agama ketimbang corak politik, dalam pidato itu
Usman mengingatkan beberapa hal penting : [14]
1.
Agar umat
Islam selalu berbuat baik sebagai bekal ke hari akhirat.
2.
Agar umat
Islam tidak terpedaya dengan kemewahan dunia.
3.
Agar umat
Islam mau mengambil iktibar dari masa lalu, mengambil yang baik dan menjauhkan
yang buruk.
4.
Sebagai
Khalifah ia akan menjalankan perintah Al Quran dan Sunnah.
5.
Ia akan
melakukan apa yang telah dilakukan pendahulunya
6.
Umat Islam
boleh mengkritiknya jika ia menyimpang dari ketetntuan hokum.
4.
Penyebaran
Islam pada Masa Khalifah Utsman Bin Affan
Pada masa pemerintahannya perluasan
daerah Islam diteruskan ke Barat sampai Maroko, ke timur menuju India dan ke
Utara bergerak ke arah konstantinopel. Pada umumnya perluasan wilayah Islam ini
dilakukan karena memenuhi kehendak jenderal- jenderalnya.
Namun pada saat Utsman bin Affan
menjabat sebagai Khalifah Utsman dituduh oleh sebahagian sahabat telah
mengangkat familinya untuk menduduki jabatan- jabatan istana. Pemberontakan
dimulai di Mesir, kemudian orang- orang yang sudah terbakar emosinya datang ke
Madinah, tempat tinggal Khalifah. Ia dikepung di rumahnya, karena menolak untuk
menyerah maka ia dibunuh oleh salah seorang pengacau, peristiwa itu terjadi
pada tahun 656 H, kemudian dipilihlah penggantinya yang akhirnya dipegang oleh
Ali bin Abi Thalib. [15]
5.
Peradaban
pada masa Khalifah Utsman bin Affan
Di antara jasa- jasa Usman Bin Affan
yang lain adalah tindakannya untuk menyalin dan membuat Al- Quran standar, yang
di dalam kepustakaan disebut dengan kodifikasi al Quran.[16]
Standarisasi Al Quran perlu diadakan,
karena pada masa pemerintahannya wilayah Islam telah sangat luas dan didiami
oleh berbagai suku bangsa dengan berbagai bahasa dan dialek yang tidak sama.
Karena itu, di kalangan pemeluk agama Islam terjadi perbedaan ungkapan dan ucapan tentang ayat- ayat al quran yang
disebarkan melalui hafalan. Perbedaan cara mengucapkan itu menimbulkan perbedaan
arti. Berita tentang ini sampai pada Usman. Ia lalu membentuk Panitia yang
kembali dipimpin oleh Zaid bin Tsabit untuk menyalin naskah Al- Quran yang
telah dihimpun di masa Khalifah Abu Bakar dahulu, disimpan oleh Hafsah, janda
Nabi Muhammad SAW. Panitia ini bekerja dengan satu disiplin tertentu, menyalin
naskah Al Quran ke dalam lima Mushaf (kumpulan lembaran- lembaran yang ditulis,
dan Al Quran itu sendiri disebut pula Mushaf ), untuk dijadikan standar dalam
penulisan dan bacaan Quran di wilayah kekuasaan Islam pada waktu itu. Semua
naskah yang dikirim ke ibukota Propinsi ( Makkah, Kairo, Damaskus, Baghdad) itu
disimpan dalam masjid. Satu naskah tinggal di Madinah untuk mengenang jasa
Usman, naskah yang disalin di masa pemerintahnnya itu disebut Mushaf Usmany
atau al- Imam karena ia menajadi standar bagi Quran yang lain. Kemudian
disalin dan diberi tanda- tanda bacaan di Mesir seperti yang kita lihat
sekarang ini. [17]
Khalifah Utsman bin Affan
menjalankankan roda pemeriintahannya selama lebih kurang 12 Tahun.
D.
KHALIFAH
ALI BIN ABI
THALIB ( TAHUN 35 H- 40 H)
1. Kelahiran Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Imam Ali r.a
dilahirkan hari Jum'at, 13 bulan Rajab,
12 tahun sebelum Nabi Muhammad s.a.w. mendapat
risalah, Sepanjang ingatan orang, inilah untuk pertama kali seorang wanita
melahirkan puteranya dalam Ka'bah. Kelahiran bayi ini hanya disaksikan oleh
ayah bundanya saja. Kejadian yang luar biasa ini, beritanya segera tersiar ke
berbagai penjuru. Berbondong- bondonglah mereka, terutama keluarga Bani Hasyim,
datang ke Ka'bah, guna menyaksikan bayi yang baru lahir. Di antara yang datang
ialah Nabi Muhammad s.a.w. Bayi ini saudara misan beliau sendiri. Beliau
menggendong bayi tersebut, kemudian bersama ayah-ibunya pulang ke rumah Abu
Thalib.
Pemuka-pemuka
Qureiys diundang mengunjungi pesta itu, sebagai penghormatan atas kelahiran
puteranya. Pada kesempatan itulah Abu Thalib mengumumkan pemberian nama
"Ali" kepada puteranya yang baru lahir. "Ali" berarti
"luhur". Sesungguhnya, sebelum berlangsung pesta walimah, di mana Abu
Thalib mengumumkan nama "Ali" bagi puteranya yang keempat itu,
Fatimah telah memberi nama "Haidarah", yang berarti
"Singa". Satu nama yang diambil persamaannya dari nama Asad, nama
datuknya dari pihak ibu, yang juga berarti "Singa". Sementara orang mengatakan, bahwa yang
memberi nama "Haidarah" ialah orang-orang Qureiys. Tetapi sejarah
membuktikan, bahwa nama "Haidarah" itu sesungguhnya pemberian ibunya
sendiri.
Bukti sejarah ini
dapat diketahui dari peristiwa perang-tanding, seorang lawan seorang, antara
Imam Ali r.a. melawan Marhaban. Dalam perang-tanding itu Marhaban
mengagul-agulkan diri engan bait syairnya: "Aku inilah yang diberi nama
Marhaban oleh ibuku!" Imam Ali r.a. segera menukas dan melanjutkan bait
syair itu dengan kata-katanya: "Aku inilah yang diberi nama Haidarah oleh
ibuku!" Hanya saja nama yang diberikan ibunya menjadi tenggelam sesudah
pengumuman ayahnya dalam pesta walimah, yaitu "Ali". Ia lebih terkenal dengan nama Ali bin Abi Thalib.
Ketika di bawah
asuhan Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. pernah diberi julukan "Abu
Turab", yang artinya "Si Tanah". Pemberian julukan itu erat
kaitannya dengan peristiwa ditemuinya Imam Ali r.a. di satu hari sedang tidur
berbaring di atas tanah. Yang menemuinya Nabi Muhammad s.a.w. sendiri. Beliau
menghampirinya dan duduk dekat kepalanya sambil mengusap-usap punggungnya guna
membuang debu-tanah. Kemudian Nabi Muhammad s.a.w. membangunkannya seraya
berkata: "Duduklah, engkau hai Abu Turab!" Nama Abu Turab ini paling disukai oleh Imam
Ali r.a. Ia sangat bangga bila dipanggil dengan nama itu. [18]
2. Proses Pengangkatan Ali Bin abi Thalib
Menurut penuturan
Abu Mihnaf, sebagaimana tercantum dalam Syarh Nahjil Balaghah, jilid IV, halaman
8, dikatakan, bahwa ketika itu kaum Muhajirin dan Anshar berkumpul di masjid
Rasul Allah s.a.w. Dengan harap-harap cemas mereka menunggu berita tentang
siapa yang akan menjadi Khalifah baru. Masjid yang menurut ukuran masa itu
sudah cukup besar, penuh sesak dibanjiri orang. Di antara tokoh-tokoh muslimin
yang menonjol tampak hadir Ammar bin Yasir, Abul Haitsam bin At Thaihan, Malik
bin 'Ijlan dan Abu Ayub bin Yazid. Mereka bulat berpendapat, bahwa hanya Ali
bin Abi Thalib r.a. lah tokoh yang paling mustahak dibai'at. Diantara mereka yang paling gigih berjuang
agar Imam Ali r.a. dibai'at ialah Ammar bin Yasir. Dalam mengutarakan usulnya,
pertama-tama Ammar mengemukakan rasa syukur karena kaum Muhajirin tidak terlibat
dalam pembunuhan Khalifah Utsman r.a.
Kepada kaum Anshar, Ammar menyatakan, jika kaum Anshar hendak
mengkesampingkan kepentingan mereka sendiri, maka yang paling baik ialah
membai'at Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Ali bin Abi Thalib, kata Ammar,
mempunyai keutamaan dan ia pun orang yang paling dini memeluk Islam. Kepada
kaum Muhajirin, Ammar mengatakan: kalian sudah mengenal betul siapa Ali bin Abi
Thalib. Oleh karena itu aku tak perlu menguraikan kelebihan-kelebihannya lebih
panjang lebar lagi. Kita tidak melihat ada orang lain yang lebih tepat dan
lebih baik untuk diserahi tugas itu! Usul Ammar secara spontan disambut hangat
dan didukung oleh yang hadir. Malahan kaum Muhajirin mengatakan: "Bagi
kami, ia memang satu-satunya orang yang paling afdhal!" Setelah tercapai
kata sepakat, semua yang hadir berdiri
serentak, kemudian berangkat bersama-sama ke rumah Imam Ali r.a.
Di depan rumahnya
mereka beramai-ramai minta dan mendesak agar Imam Ali r.a. keluar. Setelah Imam
Ali r.a. keluar, semua orang berteriak agar ia bersedia mengulurkan tangan sebagai tanda persetujuan dibai'at menjadi
Amirul Mukminin. Pada mulanya Imam Ali r.a. menolak dibai'at sebagai Khalifah.
Dengan terus terang ia menyatakan : "Aku lebih baik menjadi wazir yang
membantu daripada menjadi seorang Amir yang berkuasa. Siapa pun yang kalian
bai'at sebagai Khalifah, akan kuterima dengan rela. Ingatlah, kita akan
menghadapi banyak hal yang menggoncangkan hati dan fikiran." Jawaban Imam
Ali r.a. yang seperti itu tak dapat diterima sebagai alasan oleh banyak kaum
muslimin yang waktu itu datang berkerumun di rumahnya. Mereka tetap mendesak
atau setengah memaksa, supaya Imam Ali r.a. bersedia dibai'at oleh mereka
sebagai Khalifah. Dengan mantap mereka menegaskan pendirian: "Tidak ada
orang lain yang dapat menegakkan pemerintahan dan hukum-hukum Islam selain
anda. Kami khawatir terhadap ummat Islam, jika kekhalifahan jatuh ketangan
orang lain…"
Beberapa saat
lamanya terjadi saling-tolak dan saling tukar pendapat antara Imam Ali r.a.
dengan mereka. Para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. dan para pemuka kaum Muhajirin
dan Anshar mengemukakan alasannya masing-masing tentang apa sebabnya mereka
mempercayakan kepemimpinan tertinggi kepada Imam Ali r.a. Betapapun kuat dan
benarnya alasan yang mereka ajukan Imam Ali r.a. tetap menyadari, jika ia
menerima pembai'atan mereka pasti akan menghadapi berbagai macam tantangan dan
kesulitan gawat. Baru setelah Imam Ali r.a. yakin benar, bahwa kaum muslimin
memang sangat menginginkan pimpinannya, dengan perasaaan berat ia menyatakan kesediaannya untuk menerima
pembai'atan mereka. Satu-satunya alasan yang mendorong Imam Ali r.a. bersedia
dibai'at, ialah demi kejayaan Islam, keutuhan persatuan dan kepentingan kaum
muslimin. Rasa tanggung jawabnya yang besar atas terpeliharanya nilai-nilai
peninggalan Rasul Allah s.a.w., membuatnya siap menerima tanggung jawab berat
di atas pundaknya. Sungguh pun demikian, ia tidak pernah lengah, bahwa situasi
yang ditinggalkan oleh Khalifah Utsman r.a. benar-benar merupakan tantangan
besar yang harus ditanggulangi.
Keputusan Imam Ali
r.a. untuk bersedia dibai'at sebagai Amirul Mukminin disambut dengan perasaan
lega dan gembira oleh sebagian besar kaum muslimin. Kepada mereka Imam Ali r.a.
meminta supaya pembai'atan dilakukan di masjid agar dapat disaksikan oleh umum.
Kemudian Imam Ali r.a. juga memperingatkan, jika sampai ada seorang saja yang
menyatakan terus terang tidak menyukai dirinya, maka ia tidak akan bersedia
dibai'at. Mereka dapat menyetujui permintaan Imam Ali r.a., lalu ramai-ramai
pergi menuju masjid. Setibanya di Masjid, ternyata orang pertama yang
menyatakan bai'atnya ialah Thalhah bin
Ubaidillah.
Menyaksikan kesigapan Thalhah itu, seorang bernama Qubaisah bin Dzuaib Al
Asadiy menanggapi: "Aku Khawatir, jangan-jangan pembai'atan Thalhah itu
tidak sempurna!" Ia mengucapkan tanggapannya itu karena tangan Thalhah
memang lumpuh sebelah. Orang lain membiarkan komentar itu lewat begitu saja.
Zubair bin Al-'Awwam segera mengikuti jejak Thalhah menyatakan bai'at kepada
Imam Ali r.a. Sesudah itu barulah kaum Muhajirin dan Anshar menyatakan
bai'atnya masing-masing. Yang tidak ikut menyatakan bai'at ialah Muhammad bin
Maslamah, Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Salam, Abdullah bin Umar, Usamah bin
Zaid, Saad bin Abi Waqqash, dan Ka'ab bin Malik. Tata cara pembai'atan dilakukan
menurut prosedur sebagaimana yang lazim berlaku atas diri Khalifah-khalifah
sebelumnya. Sesuai dengan tradisi pada masa itu, sesaat setelah dibai'at
Amirul Mukminin
Imam Ali r.a. menyampaikan amanatnya yang pertama. Antara lain mengatakan:
"Sebenarnya
aku ini adalah seorang yang sama saja seperti kalian. Tidak ada perbedaan
dengan kalian dalam masalah hak dan kewajiban. Hendaknya kalian menyadari,
bahwa ujian telah datang dari Allah s.w.t. Berbagai cobaan dan fitnah telah
datang mendekati kita seperti datangnya malam yang gelap-gulita. Tidak ada
seorang pun yang sanggup mengelak dan menahan datangnya cobaan dan fitnah itu,
kecuali mereka yang sabar dan berpandangan jauh. Semoga Allah memberikan
bantuan dan perlindungan. "Hati-hatilah kalian sebagaimana yang telah
diperintahkan oleh Allah s.w.t. kepada kalian, dan berhentilah pada apa yang
menjadi larangan-Nya. Dalam hal itu janganlah kalian bertindak
tergesa-gesa, sebelum kalian menerima
penjelasan yang akan kuberikan. "Ketahuilah bahwa Allah s.w.t. di atas
'Arsy-Nya Maha Mengetahui, bahwa sebenarnya aku ini tidak merasa senang dengan
kedudukan yang kalian berikan kepadaku. Sebab aku pernah mendengar sendiri Rasul
Allah s.a.w. berkata: "Setiap waliy (penguasa atau pimpinan) sesudahku,
yang diserahi pimpinan atas kaum muslimin, pada hari kiyamat kelak akan
diberdirikan pada ujung jembatan dan para Malaikat akan membawa lembaran
riwayat hidupnya. Jika waliy itu seorang yang adil, Allah akan menyelamatkannya
karena keadilannya. Jika waliy itu seorang yang dzalim, jembatan itu akan
goncang, lemah dan kemudian lenyaplah kekuatannya. Akhirnya orang itu akan
jatuh ke dalam api neraka…" [19]
3.
Peristiwa
tahkim Pada Masa Ali Bin Abi Thalib
Konflik politik antara Ali Bin Abi
Thalib dengan Muawwiyah Ibn Abi Sufyan diakhiri dengan Tahkim. Dari
pihak Ali Ibn Abi Thalib diutus seorang ulama yang terkenal sangat jujur dan
tidak “ cerdik” dalam politik yaitu Abu Musa Al Asyari. Sebaliknya dari pihak
Muawiyah Ibn Abi Sufyan diutus seorang yang sangat terkenal sangat “cerdik”
dalam berpolitik yaitu Amr ibn Ash.
Dalam tahkim tersebut, pihak Ali Ibn
Abi Thalib dirugikan oleh pihak Muawiyah Ibn Abi Sufyan karena kecerdikan Amr
Ibn Ash yang dapat mengalahkan Abu Musa Al Asyari. Pendukung Ali Ibn Abi
Thalib, kemudian terpecah menjadi dua, yaitu kelompok pertama adalah mereka
yang secara terpaksa menghadapi hasil Tahkim dan mereka tetap setia kepada Ali
Ibn Abi Thalib, sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok yang menolak
hasil Tahkim dan kecewa terhadap kepemimpinan Ali Ibn Abi Thalib yang kemudian
melakukan gerakan perlawanan terhadap semua pihak yang terlibat dalam Tahkim,
termasuk Ali Ibn Abi Thalib. [20]
Khalifah Ali bin Abi Thalib
menjalankankan roda pemeriintahannya selama lebih kurang 5 Tahun.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Bentuk
peradaban yang paling besar pada masa Khalifah Abu Bakar antara lain : Penghimpunan
Al Quran, mengelola zakat, infak dan sedekah yang berasal dari kaum muslimin,
sedangkan dalam Praktik pemerintahan Khalifah Abu Bakar terpenting lainnya
adalah mengenai suksesi kepemimpinan atas inisiatifnya sendiri dengan menunjuk
Umar bin Khattab untuk menggantikannya.
2.
Peradaban yang
paling signifikan pada masa Umar, selain pola administratif pemerintahan,
peperangan, dan sebagainya adalah pedoman dalam peradilan. Pemikiran Khalifah
Umar bin Khattab khususnya dalam peradilan yang masih berlaku sampai sekarang
3.
Di antara
jasa- jasa Usman Bin Affan adalah tindakannya untuk menyalin dan membuat Al-
Quran standar, yang di dalam kepustakaan disebut dengan kodifikasi al
Quran
4.
Yang paling terkenal pada msa Ali ini
adalah terjadinya Tahkim antara Ali Bin Abi Thalib
dengan Muawwiyah Ibn Abi Sufyan . Dari pihak Ali Ibn Abi Thalib diutus
seorang ulama yang terkenal sangat jujur dan tidak “ cerdik” dalam politik
yaitu Abu Musa Al Asyari. Sebaliknya dari pihak Muawiyah Ibn Abi Sufyan diutus
seorang yang sangat terkenal sangat “cerdik” dalam berpolitik yaitu Amr ibn
Ash.
Dalam tahkim tersebut, pihak Ali Ibn
Abi Thalib dirugikan oleh pihak Muawiyah Ibn Abi Sufyan karena kecerdikan Amr
Ibn Ash yang dapat mengalahkan Abu Musa Al Asyari. Pendukung Ali Ibn Abi
Thalib, kemudian terpecah menjadi dua, yaitu kelompok pertama adalah mereka
yang secara terpaksa menghadapi hasil Tahkim dan mereka tetap setia kepada Ali
Ibn Abi Thalib, sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok yang menolak
hasil Tahkim dan kecewa terhadap kepemimpinan Ali Ibn Abi Thalib yang kemudian
melakukan gerakan perlawanan terhadap semua pihak yang terlibat dalam Tahkim,
termasuk Ali Ibn Abi Thalib.
[1] Dedi Supriyadi, Sejarah
Peradaban Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2008 ), h. 67
[2] H.O.S. Tjokroaminoto, Islam
dan Sosialisme, (Jakarta : Tride, Cetakan I, 2003), h. 68
[3] Suatu tempat yang biasa
digunakan untuk berkumpul dan membahas masalah- masalah umat. Pertemuan kali
ini khusus diselenggarakan untuk menimbang siapa yang harus memegang tumpuk
pemerintahan di kalangan mereka setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Ketika
Sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar ibn Al Khattab dan Abu ‘Ubaidah
diberitahu akan hal ini, beliau segera menyatakan kesediaannya berpartisipasi
dalam pertemuan ini.
[4] Ibid, h. 69-70
[5] Muhammad Iqbal, Fiqh
Siyasah Konstekstualisasi Doktrin Politik Islam , (Jakarta : Gaya Media
Pratama, 2000), h. 51
[6]
Al Furqan Hasbi, 125 Masalah Zakat, ( Solo: Tiga Serangkai,
Cetakan Pertama, 2008 ), h. 27
[7] Dedi Supriyadi, Op. cit.
h. 71
[8] Ibid, h. 78
[9]
Muhammad Husain Haikal , Al- Faruq ‘Umar, diterjemahkan oleh Ali
Audah, Umar Bin Khattab (Bogor : Pustaka Litera AntarNusa, cetakan ke- 3,
2002), h. 133- 135
[10] Muhammad Iqbal, Op.cit.
h. 55
[11] Dedi Supriyadi, Op.cit.
h. 82-83
[12]
Abdurrahman At Tamimi, Utsman Bin Affan Radiyallahu ‘Anhu Khalifah Yang
Terzalimi, ( Maktabah Abu Salma Al Atsari, 2008), h. 6
[13] Inu Kencana Syafi’ie, Ilmu
Pemerintahan dan Al- Quran, ( Jakarta : PT Bumi Aksara, Cetakan I, 2004),
h. 152-153
[14] Dedi Supriyadi, Op. cit,
h. 90-91
[15] Habib Boulares, Islam
Biang Ketakutan atau Tumpuan Harapan ?, ( Bandung : Pustaka Hidayah, Cetakan
I, 2003), h. 123
[16] Muhammad Daud Ali, Hukum Islam
(Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2006), h. 178-179
[17] ibid
[18]
H.M.H. Al Hamid Al Husaini, Sejarah Hidup Ali Bin Abi Thalib ra,
(Jakarta : Lembaga Penyelidikan Islam, 1981), h. 6-7
[19]
Ibid, h. 83-85
[20]
Dedi Supriyadi, Loc.cit
Diberdayakan oleh Blogger.